Mohon tunggu...
Wawan Kurnia
Wawan Kurnia Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis Pemula

Karena hidup adalah karunia.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Agama: Kerja Sama Tuhan dan Manusia

3 Agustus 2010   15:26 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:20 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Beberapa waktu silam, penulis mengikuti sebuah acara pengajian suatu kelompok keagamaan (baca : Islam). Dalam acara tersebut, penulis sempat dibuat terkejut dan terheran-heran. Pasalnya, salah satu nara sumber pengajian itu dengan lantang dan begitu yakin mengatakan : "kalian nanti jangan mau disebut pemikir Islam. Sebab, Islam itu Qur'an dan Sunnah. Bukan dari pikiran."

Bukan karena tidak mengerti arti harfiah dari kata-kata itu yang membuat penulis terkejut dan heran. Arti ini sangat mudah dipahami dan, barangkali, juga mudah dibenarkan. Dengan mengatakan begitu, sang nara sumber memaksudkan bahwa tidak ada tempat bagi pikiran dalam Islam. Sehingga, istilah "pemikir Islam" juga tidak ada. Bukankah sumber utama agama Islam memang al-Qur'an dan Sunnah, bukan pikiran manusia?

Bagi orang yang tidak mau merepotkan diri dan hanya ingin sederhana dalam memahami ajaran agamanya, tidak menutup kemungkinan hal di atas adalah pilihan yang terbaik. Asal tahu bunyi ayat dan hadits suatu persoalan, ya sudah, tinggal dilaksanakan. Mengenai hal lain yang masih berkaitan dengan dalil tersebut, ah, masa bodoh.

Tapi, justru, di sinilah pokok persoalannya. Hasrat tidak ingin berrumit-rumit dan seinstan mungkin beragama tidak jarang mudah membuat seseorang bertengkar atas nama agama. Menyalahkan orang lain yang berbeda pendapat pun, kemudian, menjadi "hobi". Tindak kekerasan atas nama agama yang sering kita saksikan akhir-akhir ini sangat mungkin lahir dari hasrat beragama semacam ini.

Dengan demikian, kembali merenungkan posisi pikiran dalam berhadapan dengan agama adalah niscaya. Tujuannya, untuk menggali sejelas dan sedetail mungkin posisi-posisi pikiran ketika berinteraksi dengan agama. Di samping itu, untuk memunculkan kesadaran beragama yang toleran dan "tidak asal ".

Untuk menuju kearah perenungan kembali itu, dan untuk lebih efektif dalam berdialog secara imaginer, penulis coba mengajukan beberapa pertanyaan sekaligus jawaban yang penulis temukan.

Pertanyaan pertama, mungkinkah manusia merespons sesuatu di luar dirinya tanpa melibatkan pikiran?

Mesti diingat, bahwa pikiran sebagai sebuah aktivitas mental telah terlebih dahulu ada sebelum manusia mengenal agama. Pikiran adalah "ke-diri-an" dan inheren di dalam manusia. Sedang, agama, adalah sesuatu yang "lain", yang ada belakangan dan berusaha diinternalisasi ajaran-ajarannya ke dalam "sistem" ruhani manusia. Dengan begitu, maka, mustahil agama dapat berproses "masuk" ke dalam diri manusia tanpa sama sekali bersinggungan dengan pikiran, sekecil apapun perannya dalam proses itu. Satu hal yang pasti, ketika seseorang mempelajari agamanya, ia pastilah mendayagunakan pikirannya, minimal dalam memahami ajaran itu agar dapat dipraktikkan.

Pertanyaan kedua, adakah agama yang sedari awal kedatangannya telah menjabarkan ajarannya sedetail mungkin dan telah menjabarkan bagaimana ia dipahami dan dipraktikkan dalam rentang sejarah kehidupan manusia?

Agaknya, tidak ada agama seperti disebutkan di atas. Kitab suci-kitab suci berbagai agama sebagai rujukan sekaligus identitas adalah sesuatu yang terbatas. Keterbatasan ini,setidaknya, dapat ditemukan dalam waktu, tempat, dan isi. Kitab suci apapun di dunia ini pasti diturunkan atau diwahyukan dalam suatu waktu tertentu dan berhenti dalam suatu waktu yang lain. Kitab suci agama Islam, Kristen, Hindu, dan lain-lain telah selesai masa pewahyuannya dahulu kala dalam suatu rentang waktu tertentu. Kitab-kitab itu juga diwahyukan dalam suatu daerah tertentu. Daerah tempat diturunkannya suatu kitab suci kemudian banyak dikenal sebagai daerah asal agama yang memakai kitab suci tersebut. Tidak ada kitab suci yang diturunkan di semua daerah di dunia, yang berarti agama kitab tersebut berasal dari seluruh agama. Dalam hal isi, kitab suci yang ada juga terbatas. Tidak dapat dibayangkan adanya kitab suci yang telah membahas segala hal, segala peristiwa, dan segala yang mesti dilakukan para pemeluknya dalam suatu masa atau peristiwa tertentu.

Keterbatasan dalam tiga hal ini mempunyai konsekwensi yang hampir sama ; perlunya pemahaman mendalam dan hati-hati atas kitab suci. Sifat mendalam dan hati-hati ini sangat perlu ditekankan, sebab tanpa demikian, kesalahan dalam merespon suatu peristiwa atau persoalan sulit dihindari. Nah, mungkinkah pemahaman yang demikian ini dilakukan tanpa campur tangan pikiran? Hal ini bisa dianggap mungkin jika agama memang telah menentukan sendiri bagaimana ia mesti dipahami. Nyatanya, adakah agama yang sedari awal telah menjelaskan hal ini sedetail mungkin?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun