Bagaimana jika tidak? Perlawanan terus terjadi. Rakyat Papua terus akan merasa dibedakan sendiri. Nantinya, apapun yang dikatakan oleh pemerintah, mereka meresponnya secara berbeda dengan cara menentang. Ketika negara kehilangan kekuatan untuk menegosiasikan persoalan, bisa saja munculnya korban dari semua pihak. Mengerikan, kan?
Di sisi lain, jika adanya perlawanan maka suara para penentang lebih nyaring terdengar. Semakin terbuka dan tidak lagi terjebak dalam ruangan tertutup. Suara-suara mereka di hutan luas sana yang semula hanya bisa didengar sendiri, akan mulai di dengar publik di ruang terbuka. Media pemberitaan mulai mengekspos dan jemari warganet dari berbagai wilayah di Indonesia memberikan dukungan kepada mereka.
Sungguh ironis. Ketika penentangan semakin meluas seiring dengan agregasi kekuasaan yang massif. Populisme menjadi solusi terbaik untuk mereka yang selama ini diam dan merasa terkucilkan oleh negara yang justru sibuk dengan menyelesaikan persoalan berdasarkan pandangannya sendiri. Populisme Papua bukan lagi suara yang terkucilkan melainkan sudah menempati posisi tengah, menjadi saluran alternatif. Dan tidak disadari, hal tersebut menjadi tempat terbaik untuk dimanfaatkan oleh mereka yang memiliki kepentingan yang melatarbelakanginya.
Pemerintah, saatnya membuka diri. Pemerintah seharusnya bisa tegas dan menunjukkan bahwa negara tidak boleh tunduk kepada pihak yang dapat menodai fundamental.
Tapi respons atas perlawanan dan penentangan sejatinya berbanding lurus dengan pemaknaan tentang gambaran besar yang pernah, sedang dan akan terus mewarnai kompleksitas persoalan Papua. Jika seperti itu, kita patut mengkhawatirkan masa depan Papua yang dihuni oleh dua pihak yang jatuh pada lubang populisme. Dimana keduanya sama-sama mengusung argumen atas nama rakyat.