Pendidikan di Indonesia saat ini dihadapkan pada sebuah dilema pelik yang tak jarang menguras energi, terutama di jenjang pendidikan dasar dan menengah.Â
Di satu sisi, semangat kebijakan pemerintah, seperti yang tercantum dalam PP 57/2021 dan Permendikbudristek No. 21/2022 jelas mendorong agar kenaikan kelas menjadi sebuah keniscayaan.Â
Filosofi di baliknya mulia, mencegah putus sekolah, mengutamakan perkembangan holistik siswa, dan memastikan setiap anak berhak mendapat kesempatan untuk melanjutkan.Â
Namun, di sisi lain, praktik ini seringkali memunculkan pertanyaan kritis: apakah kita sedang memprioritaskan kuantitas siswa yang naik kelas di atas kualitas pemahaman dan kompetensi mereka?
Dilema ini paling terasa di garda terdepan pendidikan, yaitu di sekolah dan pundak guru kelas. Para guru, yang seyogianya menjadi penentu keberhasilan belajar, kerap dihadapkan pada tekanan untuk meluluskan semua siswa, bahkan ketika ada indikasi kuat bahwa seorang anak belum mencapai kompetensi dasar yang diharapkan.
Alih-alih mendapatkan intervensi mendalam yang dibutuhkan melalui potensi pengulangan kelas, siswa mungkin hanya 'terdorong' naik, meninggalkan celah-celah pemahaman yang kian melebar di jenjang berikutnya.
Inilah problematika yang perlu kita cermati bersama, apakah kebijakan yang bertujuan baik ini justru menciptakan sebuah "ilusi" kemajuan, yang pada akhirnya dapat mengancam fondasi kualitas pendidikan kita di masa depan?
Problematika Kenaikan Kelas
Dalam implementasinya di lapangan saat kenaikan keelas menghadirkan tantangan tersendiri dan memunculkan realitas yang lebih kompleks. Meskipun kebijakan menganjurkan minimalisasi tinggal kelas, bukan berarti praktik ini sepenuhnya hilang atau dilarang mutlak.
Faktanya, keputusan kenaikan kelas tetap berada di tangan satuan pendidikan, yang melalui rapat dewan guru menetapkan kriteria kenaikan kelas mereka sendiri, sebagaimana diatur dalam Pasal 14 Ayat (4) Permendikbudristek No. 21/2022.