Aku tidak berayah Bapak Ibrahim a.s dan beribu Siti Hajar.
Aku bukan seperti Ismail, anak sempurna yang tiada dosa.
Aku tidak hidup dimasa lalu,
bukan pula anak keluarga suci mulia.
Dunia berputar di alam maya yang penuh isyarat dalam notif.
Anak milenial selalu dicap manja, labil dan pragmatis.
Namun hati tetap mencari makna di antara maya.
Berpegang pada bakti illahi.
Saat pesan bapak datang, apakah berkelakar atau nyata,
Nak, bapak ada perintah Tuhan, berat sekali,
perintah seperti Ibrahim pada Ismail.
Apa yang aku harus jawab?
Bapak mau membunuhku? bapak jahat...!, bapak sesat...!
Sejenak hening, ruang bergetar hampa,
bukan harta yang diminta, bukan pula tahta.
Sebuah keinginan yang sulit diterima difahami.
Andaikan benar itu perintah Tuhan, Apakah harus bilang iya?
Benarkah ini suara Illahi, atau hanya halusinasi?
Bapak, apakah kau mengerti, dunia ini tak sama lagi?
Bapak menatap, mata teduh penuh pasrah,
Ini ujian, nak, untuk iman kita yang utuh.
tak ada paksaan, tak ada titah yang keras,
hanya bimbingan tulus, sejernih embun di atas kapas.
Si anak terdiam, gawai terlepas perlahan,
antara logika dan keyakinan, terbentang jurang keraguan.
Aku memang mau berbakti, namun apakah harus seperti ini?
Aku tak ingin hidupku berakhir sia-sia,
Aku tahu janji Tuhan, bukankah itu yang utama?
Tapi, siapa yang rela nyawanya jadi taruhan?
Keringat dingin membasahi pelipisnya,
Air mata menelusuri pipi dalam sesak dada.
Teringat kisah Ismail, patuh pada ayah dan pencipta.
Anak milenial, pasti banyak bertanya, protes dalam kritis.
Mampukah hati kita melihat masa lalu,
memahami makna 'kurban nyawa' yang tak terukur?