Mohon tunggu...
Wata Kama
Wata Kama Mohon Tunggu... Freelancer - freelance

pekerja lepas

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Giliran NasDem Membuktikan

16 Maret 2019   17:49 Diperbarui: 16 Maret 2019   17:58 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

HAJATAN Pemilu Serentak 17 April 2019 tinggal menghitung detik-detik jarum jam. Masing-masing capres dan pasangannya sudah siaga menyongsong pesta demokrasi itu.

Partai politik juga menyusun taktik dan strategi agar bisa lolos dari parliamentary threshold sebesar 4%, selain tentu saja ikut menyukseskan pasangan capres-cawapres yang diusung atau didukung.

Masing-masing parpol menyusun taktik dan strategi agar lolos dari lubang jarum karena sistem penghitungan suara dengan metode Sainte Lague dinilai sangat keras. Sistem ini rumit dan menjadi pembunuh parpol karena cenderung 'winners take all'.

Parpol pengusung dan pendukung pasangan Jokowi-KH Ma'ruf Amin serta pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno berhitung-hitung bahwa tidak mendapat efek jas (coattail effect) dari pencalonan Jokowi atau Prabowo selain PDIP dan Gerindra. Parpol di luar PDIP dan Gerindra paling banter mendapat coattail effect Jokowi atau pun Prabowo tidak sampai 1%. Karena itu tidak mustahil ada parpol yang kelihatan ogah-ogahan berkampanye mendukung pasangan capres-cawapres yang diusung atau didukungnya.

NasDem menjadi anomali dari arus besar trend perkembangan parpol menghadapi politik secara keseluruhan khususnya Pileg 2019. Sejak DPR dan pemerintah menyepakati sistem Sainte Lague, NasDem mengubah haluan di tengah parpol lain menghadapi Pileg 2019 dengan cara konvensional. NasDem rupanya menyadari tidak mendapat limpahan coattail effect Jokowi dalam jumlah signifikan.

Karena itu NasDem ingin mendapatkan efek Sainte Lague, tanpa mengurangi sedikitpun gairah berkampanye secara gencar mengenai kemenangan Jokowi. Slogan Jokowi Presidenku, NasDem Partaiku digemakan setiap caleg NasDem hingga pelosok. Bahkan Ketua Umum NasDem Surya Paloh hampir di semua tempat menegaskan sikap bahwa kemenangan NasDem tidak ada gunanya jika presidennya bukan Jokowi. Ini menunjukkan totalitas NasDem mendukung Jokowi.

Sebelum bertarung di Pileg 2019, NasDem sudah melakukan investasi jangka panjang. Sejak pilkada merebak tahun 2016 hingga 2018, NasDem meluncurkan politik tanpa mahar. Kebijakan politik tanpa mahar di tengah arus deras politik transaksional, di satu sisi menuai ketidakpercayaan, tetapi bagi pasangan yang diusung atau didukung NasDem merasakan secara langsung politik tanpa mahar itu. Para kepala daerah yang terpilih maupun yang gagal, memberikan testimoni bahwa NasDem tidak memungut sepeser pun dari mereka mahar sebagai imbalasan mengusung atau mendukung pencalonan mereka. Politik tanpa mahar itu kemudian merebak masuk ke ruang pubik maupun ruaang-ruang privat. NasDem mencatat nilai tambah tersendiri

Politik tanpa mahar itu pula yang membuat tak kurang dari 23 anggota DPR petahana (2014-2019) meninggalkan partai lama kemudian bergabung dengan NasDem sebagai caleg di Pileg 2019. Selain itu ada 2 mantan menteri, 3 mantan gubernur, 2 mantan wakil gubernur, ada bupati yang mundur untuk menjadi caleg serta 46 pesohor/artis semuanya menjadi modal bagi NasDem untuk melaju menghadapi Pileg 2019.

Jika Pileg 2019 NasDem memetik hasilnya itu sah-sah saja karena NasDem telah menyemai dalam jangka panjang. Segala kerja politik yang didasari metodelogi modern dan ilmiah dipakai untuk memenangkan NasDem. Sekaranglah saatnya NasDem menuai setelah menginvestasi. NasDem berhak menuai dan memetik hasilnya sebagai buah dari upaya kerja besar.

Target Ketua Umum NasDem Surya Paloh bahwa pada Pileg 2019 NasDem akan mendapat 100 kursi dan masuk tiga besar, segera menjadi nyata. Sebuah target yang realistik, tidak mengada-ada, tidak mimpi. Adalah sah jika dalam kontestasi Pileg 2019 NasDem bertekad melampaui kursi parpol manapun. Tekad itu tidak boleh disebut sebagai kejahatan.

Sejarah pemilu di Indonesia pun bisa menjadi rujukan. Dalam sejarah pemilu, parpol baru yang mengikuti pemilu kedua kali, biasanya masuk tiga besar. Simak saja Partai Demokrat. Ketika pertama kali mengikuti Pemilu pada tahun 2004, Partai Demokrat mendapat 7,45% suara atau 57 kursi DPR. Ketika mengikuti pemilu kedua pada 2009, Demokrat melejit mendapat 20,4% suara dan menempati 150 kursi DPR. Demokrat menjadi pemenang Pemilu 2009.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun