Mohon tunggu...
Waskito Giri Sasongko
Waskito Giri Sasongko Mohon Tunggu... -

senang tulis-baca

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Kematian: Sebuah Refleksi Eksistensial

12 April 2014   13:20 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:46 760
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Apakah kau tidak setuju bahwa dalam diriku, aku mempunyai semangat nubuat sebesar semangat yang dimiliki angsa-angsa? Karena angsa-angsa itu, ketika memersepsi bahwa mereka pasti akan mati, setelah bernyanyi sepanjang hayatnya, lantas mereka bernyanyi lebih riang lagi dari sebelumnya, bergembira karena akan segera pergi menuju Tuhan yang para menterinya adalah mereka sendiri. Tetapi manusia, karena mereka sendiri takut akan kematian, mulai menebarkan fitnah bahwa angsa-angsa menyanyikan ratapan menjelang akhir hidupnya.”

Tuturan bernada nubuat itu dituturkan Socrates menjelang kematiannya. Kita paham, ia dieksekusi minum racun karena mengajarkan kemerdekaan berpikir dan berfilsafat. Si-buruk muka dari Yunani ini tanpa gentar sedikit pun menghadapi detik-detik kematiannya. Karena sang filsuf sejati menurutnya, seperti tercatat dalam “Dialog Phaedo” karya Plato murid terkasihnya itu, adalah mereka yang justru bergembira saat  tibanya kematian. Melalui kematianlah seseorang bisa lebih leluasa memurnikan jiwanya dari pengaruh ragawi, keterikatan, dan juga nafsu tubuh. Kerena berfilsafat itu, bagi Socarets adalah seni melatih diri untuk mati.

Harimau mati meninggalkan kulit. Gajah mati meninggalkan gading. Socrates mati meninggalkan inspirasi. Dan kisah kematian Socrates mengusik dan sekaligus memukau hati karena ia tampak telah menguasai seni untuk mati itu. Socrates bukan laiknya para martir perang suci, baik atas nama agama ataupun nasionalisme, yang menyambut kematian dengan “gemuruh-suka-cita-kemarahan” karena adalah suci, mengemban titah Tuhan atau Negara. Bahkan, konon sekadar sinisme pun tidak mengeryit dalam sinaran mata si-guru Plato ini. Ya, Socrates mati dengan cara yang sangat bersahaja namun terhormat, bukan mati karena tumpahnya berkelidan semangat heroisme dan kemarahan.

Dan rupa-rupanya sejarah telah banyak mencatat kisah-kisah kematian yang dramatik namun begitu tulus. Sebutlah Yesus al Masih, Mansyur al Hallaj, Mahattma Gandhi, dan masih banyak contoh kisah lainnya lagi. Dan karena itulah kisah-kisah kematian seperti itu, abadi terkenang dalam sejarah ingatan hati umat manusia.

Ya, kematian selalu merupakan tematik perbincangan yang menarik. Ada misteri besar tersembunyi di sana. Ada ketidaktahuan diri menyelimuti, dan, karena itu, munculah kecemasan, ketakutan, atau paling tidak ketegangan-kegelisahan psikologis ketika kita mesti mengandaikan kematian tiba. Seringkali ketakutan muncul bukan pada momen peristiwa kematian itu sendiri, melainkan lebih pada persoalan ketidaktahuan kita perihal peritiwa apakah yang sesungguhnya akan terjadi setelah kematian. Apakah sesudah kematian alur peristiwa berjalan sesuai dengan narasi mitologi kuno yang dikisahkan agama-agama manusia, perihal surga dan neraka yang kini mulai kita ragukan? Apakah kematian adalah akhir dari kehidupan kita, sebagaimana kenyakinan kaum materialisme filosofis abad ke 19 yang tampak mulai tidak relevan ketika dihadapkan pada temuan-temuan muthakir sains?

Tidak sedikit orang yang menganggap hidup ini sesungguhnya ironis atau bahkan absurd. Pasalnya kita tidak pernah meminta dilahirkan, tapi begitu kita dilahirkan, mencintai hidup dan isi kehidupan, ternyata ujung akhirnya kita mesti dihadapkan pada kenyataan yang sungguh teramat pahit dan menyakitkan. Kita harus menghadapi realitas kematian. Tidak aneh jika para filsuf sepanjang zaman, selalu saja ada yang mendudukkan realitas kematian sebagai topik sentral dalam pemikiran dan permenungan filosofisnya. Sebab, bagaimanapun, sebenarnya tidak ada persoalan yang lebih serius selain kematian.

Adalah filsuf Martin Heidegger yang memberi ciri pada kehidupan manusia sebagai “Zein Zum Tode"—Ada menuju kematian. Heidegger mengatakan bahwa manusia sebenarnya sudah ditakdirkan untuk mati begitu lahir. Sejak kita lahir kita telah cukup tua untuk mati. Karena hakikat hidup manusia ialah ‘ada’ menyongsong kematian. Kesadaran akan adanya fenomena kematian merupakan cara berada yang khas membebani eksistensi manusia sejak mula. Inilah makna waktu dalam arti sejatinya, yakni lahir dan menuju kematian.

Bahkan, Heidegger menegaskan bahwa detik-detik menjelang kematian adalah saat-saat paling otentik yang dimiliki setiap individu, karena pada momen penting itu kesadaran kita selalu menghadapinya sendiri. Karl Jesper menyebut realitas kematian sebagai “situasi-situasi batas” eksistensi manusia. Lazimnya semua perasaan tak berdaya muncul menyergap ketika kita dihadapkan pada kuasa kematian. Ini seperti perjalanan menuju suatu kekalahan akhir sebagaimana gumanan puisi Chairil Anwar: “Hidup hanyalah menunda kekalahan.”

Namun seturut nalar para filsuf eksistensialis ini, kesadaran manusia sebenarnya akan sanggup bertumbuh menjadi (to be) ‘eksis’ mentransendir justru karena ia selalu digelayuti rasa ‘kecemasan’ (angst) itu. Tentunya dengan suatu prasyarat a-priori, bahwa kesadaran kita senantiasa menyadari dan mewadahi seluruh gejala kecemasan eksistensial ini dan sanggup melampauinya sebelum dan tepat pada saat detik kematian tiba. Dalam bahasa Socrates, ini berarti kita telah menguasai seni melatih diri untuk mati.

Ada gelap, ada terang. Ada atas, ada bawah. Ada tidur, ada jaga. Ada lapar, ada kenyang. Ada datang, ada pergi. Ada pertemuan, ada perpisahan. Begitu sederhananya hukum kehidupan selalu hadir menuntut imbangannya. Demikian pula ada kelahiran tentu akan ada kematian menyertai. Kelahiran dan kematian ialah sebuah siklus hidup yang menandakan eksistensi semua mahluk hidup. Dua sisi mata uang kehidupan yang tak terpisahkan satu sama lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun