[caption id="attachment_350846" align="aligncenter" width="300" caption="Gambar ini diambil dari akun Fb Negara Timor Raya."][/caption]
Bangsa kita ini sedang hiruk pikuk oleh berbagai masalah. Akan tetapi, orang bilang namanya manusia hidup ya mesti ada masalah. Berbagai permasalahan bangsa seyogyanya mendapat perhatian dari seluruh elemen bangsa dalam konteks agar tidak menjadi sesuatu yang destruktif. Selain permasalahan berbagai kebijakan Presiden Jokowi dan kisruh KPK-Polri, kita jangan lupa dengan isu lain semisal separatisme.
Soal separatisme ini, Indonesia dihadapkan tidak hanya dengan gerakan OPM (Organisasi Papua Merdea) atau RMS (Republik Maluku Selatan), rupanya ada gerakan senada lain yang patut diwaspadai, yaitu Negara Timor Raya (NTR).
Sebetulnya keberadaan NTR ini tidaklah baru. Gerakan yang mempunyai keyakinan bahwa NTT adalah bagian dari NTR yang termasuk di dalamnya Timor Leste ini diperkirakan muncul kembali ke permukaan sejak 2002. Belakangan, keberadaan NTR mendapat perhatian dari seorang Letjen (purn.) Kiki Syahnakri, Ketua Badan Pengkajian Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat.
Kiki dalam sebuah artikel berjudul Rapuhnya Visi Pertahanan Jokowi menjadikan NTR sebagai contoh masih sangat eksisnya gerakan separatis di negeri ini dan karenanya patut mendapat perhatian dari pemerintah. Baca selengkapnya: http://indonesianreview.com/kiki-syahnakri/rapuhnya-visi-pertahanan-jokowi
Siapakah NTR?
Rupanya NTR bahkan memiliki akun Facebook dengan nama yang sama (https://www.facebook.com/pages/Negara-Timor-Raya/297445053706216). Akun Fb NTR memuat slogan, “Sebuah pulau, hanya satu negara. Uma ilha, um país.” Kira-kira maksudnya mereka ingin menjadikan satu pulau Timor (NTT dan Timor Leste) sebagai sebuah negara tersendiri.
Dilihat dari isinya, akun Fb NTR terakhir posting pada tanggal 6 Desember 2014. Mereka memposting sebuah artikel dari website berjudul, “Can Sardinia (Or Any Place) Change Countries?” Dari judulnya saja bisa kita simpulkan bahwa akun ini memperjuangkan sebuah negara tersendiri.
Posting lainnya NTR men-share berita-berita tentang warga Kupang, NTT (Nusa Tenggara Timur) yang menyeberang ke negara Timor Leste. Menurut mereka, orang-orang itu pindah ke Timor Leste karena hidupnya lebih baik jika di Timor Leste.
Posting lainnya adalah berbagai pemahaman kedaerahan yang berlandaskan keyakinan agama. Secara implisit mereka mengatakan Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam bukanlah negara untuk mereka. Mereka harus memiliki negara sendiri berdogmakan Kristen.
Separatisme atau sebuah bargaining politik?
Melihat dari apa yang mereka perjuangkan, dapat disimpulkan bahwa NTR adalah gerakan separatisme yang hendak memisahkan diri dari NKRI. Namun demikian, dilihat dari keseriusan gerakannya dan para penggagasnya yang merupakan tokoh-tokoh mainstream (LSM, dosen, tokoh politik), bisa jadi NTR juga sebatas otokritik terhadap pemerintahan.
Hal ini senada dengan pendapat yang diungkapkan pangamat politik dari Universitas Muhamadiyah Kupang, Dr Ahmad Atang. Ahmad Atang malah mendorong terbentuknya NTT menjadi Negara Timor Rayakarena menurutnya sampai kapapun NTT secara politik nasional tidak memiliki bargaining position yang kuat sebab keterwakilan kursi di DPR RI sangat sedikit, hal ini ditunjukan dengan jumlah pemilih dan luas wilayah NTT, dibanding dengan Pulau Jawa dan Sumatra.
“NTT harus nakal, berani melawan pemerintah pusat, sehingga pemerintah pusat bisa memperhatikan NTT,” ujar Atang. Atang mencontohkan Propinsi Aceh berani melawan pemerintah pusat sehingga mendapatkan perhatian yang serius dari pemerintah pusat dengan dibentuk Aceh sebagai daerahotonomi khusus serta aceh saat memiliki 3 partai lokal di Aceh.
Baca selengkapnya di sini: http://www.zonalinenews.com/2014/06/ahmad-atang-dorong-pembentukan-negera-timor-raya/
Apapun, semoga saja NTR ini bukanlah gerakan separatisme yang mau mengkhianati NKRI. Bahwa negara harus terus berjuang memeratakan pembangunan ke seluruh daerah di Indonesia adalah sebuah kewajiban. Jangan sampai negara seolah pilih kasih dengan anak bangsa di wilayah tertentu yang pada ujungnya ya memancing perpecahan. (*)