Mohon tunggu...
Dhitta Puti Sarasvati
Dhitta Puti Sarasvati Mohon Tunggu... -

Saya seorang yang suka belajar, mengajar, dan ingin belajar membuat tulisan sastra anak.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Buku Fiksi Tidak Penting?

30 Juli 2013   10:35 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:50 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Sebuah sekolah mempraktekkan kegiatan silent reading, di mana siswa diberi waktu untuk membaca selama 15 menit setiap hari. Kegiatan tersebut diliput koran. Kepada wartawan, dengan bangga pihak sekolah mengatakan bahwa setiap hari siswa diminta membaca buku pelajaran, bukan buku lainnya. Di tempat lainnya, seorang anak lagi senang-senangnya membaca Harry Potter. Walaupun tebal, tapi seru. Buku tersebut lahap dibahasnya. Orang tuanya tidak suka anaknya membaca Harry Potter. Ceritanya mengenai sihir dan tidak ada kaitannya sama pelajaran. Dia lebih senang anaknya membaca buku pengetahuan, non-fiksi. “Giliran baca Harry Potter tidak berhenti-berhenti, tapi pas baca buku pelajaran malas-malasan,” kata orang tua tersebut menyindir  anaknya.
Ilustrasi di atas, bukanlah kisah nyata tapi terinspirasi dari fenomena-fenomena yang ada di sekitar. Beberapa kali saya temui orang tua (dan guru) yang lebih bangga ketika anak/siswanya membaca buku pelajaran ketimbang buku cerita. Lebih bangga ketika mereka membaca buku non-fiksi ketimbang fiksi. Padahal, membaca fiksi juga bisa memperluas wawasan, sangat penting dalam mengembangkan imajinasi, serta bisa memperhalus perasaan.
Saya jadi ingat, cerita dari Ibu Karlina Supeli, astronom perempuan pertama di Indonesia, kini dosen filsafat di STF Driyakara. Sekitar setahun lalu dia memberikan ceramah mengenai pendidikan sains di Kongres Guru Nasional yang diselenggarakan oleh ProVisi Education. Dalam ceramahnya dia berbicara mengenai pentingnya imajinasi dalam pelajaran sains. Menurutnya imajinasi sangat penting, khususnya bagi seorang ilmuwan.
Katanya, “Rumah memang dibangun dari tumpukkan batu, tapi tumpukan batu bata saja bukanlah rumah. Sains juga begitu, sains dibangun oleh fakta. Tapi fakta semata-mata tidak cukup untuk menjadi sains. Seorang ilmuwan bisa saja punya data, tetapi dibutuhkan teori untuk menjelaskan data-data tersebut. Untuk mengembangkan teori inilah diperlukan imajinasi.”
Karena merupakan pencerita yang ulung, Ibu Karlina paham bagaimana memikat hati para pendengarnya, sekitar 1000  guru yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Dia bercerita mengenai pentingnya peranan guru dalam menumbuhkan imajinasi anak.  Dia pun memaparkan  pengalaman pribadinya, bagaimana seorang guru matematikanya berperan dalam membantunya mengembangkan imajinasinya.
Ketika pelajaran matematika, biasanya Karlina (kecil) lebih dahulu selesai dalam mengerjakan tugas. Teman-temannya belum selesai, dia sudah. Namanya juga anak-anak, mulailah Karlina kecil menjadi bosan. Dia akan mencolek-colek teman di sebelahnya, mengajak ngobrol. Guru matematikanya memperhatikan tingkah laku Karlina kecil. Guru mana yang senang ada siswanya menganggu siswa lain yang sedang belajar? Guru matematika tersebut memanggil Karlina dan menyuruhnya ke perpustakaan. “Pilihlah beberapa buku, dan bawalah ke kelas untuk dibaca sambil menunggu teman-teman yang lain,” kata gurunya berharap Karlina tidak menganggu teman-temannya lagi, “bukunya juga bukan sembarang buku tapi buku sastra.”
Teknik gurunya berhasil. Setiap pelajaran Matematika Karlina jadi asyik sendiri. Dia bukan hanya belajar matematika tapi juga sastra. Itulah awal mula kecintaan terhadap sastra.  "Saya tidak tahu kenapa guru matematika saya dulu menyuruh saya membaca sastra, tapi saya sekarang bisa merasakan manfaatnya."
Bagi Ibu Karlina, kecintaannya pada matematika dan ilmu pengetahuan alam  sangat berkaitan dengan kecintaannya kepada sastra. Sastra membantunya mengasah kemampuan berimajinasi, mempertajam intuisi, serta banyak mengajarinya mencintai keindahan. Baginya sains juga begitu juga perlu ketiga unsur itu. Imajinasi, intuisi, dan kecintaan akan keindahan.
Bukan hanya individu-individu seperti Ibu Karlina yang menganggap buku fiksi penting. Ada banyak negara, khususnya negara-negara yang pendidikannya maju, yang menganggap bahwa anak-anak perlu didorong untuk membaca fiksi, bukan hanya buku non-fiksi. Mereka paham bahwa buku-buku fiksi sangat penting dalam membangun peradaban. Biasanya di sekolah ada beberapa bacaan-bacaan wajib (fiksi) yang harus dibaca oleh siswa. Selain dibaca, biasanya anak harus membuat laporan mengenai bukunya. Di kelas pun guru tidak lepas tangan. Ada kalanya bacaan tersebut dibahas di dalam diskusi di kelas.
Seorang teman saya yang dulu bersekolah di Singapura bercerita bahwa buku wajib di sekolahnya diantaranya adalah Buku Harry Potter (yang pertama) dan buku The Hobbit (Tolkien). “Karena kedua buku tersebut sangat seru, semua teman-teman sekelas saya keranjingan membaca serial lanjutannya. Yang wajib hanya buku pertamanya, tapi mereka membaca Harry Potter nomor 2, 3, dan seterusnya dan seluruh serial Lord of The Rings dengan senang hati. Padahal tidak diminta oleh guru.”
Kenapa sekolah tersebut memilihkan buku yang di Indonesia, mungkin digolongkan agak “nge-pop” dan kalau di Indonesia dianggap “menganggu pelajaran”? Mungkin karena guru tersebut tahu, siswa akan tertarik membacanya. Yang penting siswa merasakan nikmatnya membaca. Kalaupun guruya nanti memilih bacaan lain, siswa sudah tahu bahwa gurunya akan memilihkan bacaan yang seru dan berbobot. Mereka akan tetap membaca dengan bersemangat. Kalau buku-buku fiksi bisa menanamkan kecintaan anak pada bacaan, menumbuhkan imajinasi, memperluas wawasan, membantu anak belajar mencintai keindahan, mempertajam intuisi, memperhalus perasaan, kenapa kita harus membatasi mereka untuk hanya membaca buku pelajaran (atau buku pengetahuan) saja?

http://mahkotalima.blogspot.com/2013/07/buku-fiksi-tidak-penting.html

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun