Mohon tunggu...
Warkasa1919
Warkasa1919 Mohon Tunggu... Freelancer - Pejalan

Kata orang, setiap cerita pasti ada akhirnya. Namun dalam cerita hidupku, akhir cerita adalah awal mula kehidupanku yang baru.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Apakah Bercerai Itu Tabu? (Bagian Tujuh)

25 Oktober 2020   16:13 Diperbarui: 25 Oktober 2020   16:15 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lifestyle.okezone.com 

<< Sebelumya

Bagian Tujuh

Dan saat ini, Fani ingin mengakhiri semua sandiwara sebelum murka Tuhan benar-benar datang menghampiri mereka. Cukup sudah petualangannya selama ini, dimana selama berstatus menjadi Istri dari Lelaki pilihan kedua orangtuanya itu dia merasa betul-betul menjadi Wanita cantik di mata para Pria-pria hidung belang, termasuk teman-teman dari Lelaki yang di mata orang-orang di sekeliling tempat tinggalnya.

Sekarang Fani ingin berpisah dengan Lelaki yang selama ini telah menjadi Mucikarinya. Dia ingin bercerai secara baik-baik di Pengadilan Agama dari Lelaki yang selama ini telah menjerumuskannya ke lembah hitam kemunafikan terbungkus status pernikahan.

Jujur saja selama ini hanya status Istri dari si Lelaki brengsek ini saja mungkin yang membedakan antara dirinya dengan para Pelacur yang selama ini menjajakan dirinya kepada para Lelaki hidung belang. Sebab tak banyak yang tau bahwa di belakang tampilan "baik-baik saja" dan terlihat sebagai keluarga bahagia itu sebenarnya kehidupan yang Fani jalani lebih kelam dari mereka-mereka yang selama ini dipandang hina oleh sebagian masyarakat karena di cap sebagai Wanita penggoda.

Sudah hal yang biasa bagi Fani pergi bersama Lelaki hidung belang manapun dan sudah biasa bagi Lelaki pilihan kedua orangtuanya itu melihat dirinya gonta-ganti pasangan semenjak pertamakali meyebutnya sebagai, "Pelacur murahan" dulu. Begitupun sebaliknya, Fani juga tidak pernah perduli Lelaki pilihan kedua orangtuanya itu mau pergi dengan wanita manapun. Karena mereka sama-sama paham bahwa kehidupan rumah tangga mereka ini cuma sandiwara semata.

Tadi aku sempat bertanya,"Kenapa kalian tidak pisah dan bercerai bercerai secara baik-baik saja?"

Sambil menangis, siang tadi Fani kembali melanjutkan ceritanya; bahwa semenjak dia menikah dengan Lelaki brengsek itu, dia sudah lupa bagaimana caranya untuk  tersenyum tulus kepada orang-orang yang dijumpainya, sudah sekian lama dia terbiasa hidup di dalam kemunafikan bersama lelaki pilihan kedua orangtuanya yang selalu memaksa dirinya untuk selalu tampil bahagia dihadapan orang lain.

Fani berkata bahwa Ia ingin lepas dari jerat kemunafikan ini sebelum ajal menjemputnya. Cukup sudah permainan dan sandiwara ini dia jalani bersama Lelaki munafik yang dimata semua orang terlihat baik, tapi sebenarnya adalah Setan yang sedang terus berusaha menjerumuskan dirinya ke dalam Neraka.

Kkrrrr kkrrrr krrrr

Aku tersadar dari lamunanku ketika Handphone-ku berbunyi. Ternyata Fani menelponku tadi, sebab pesan yang dia kirimkan sedari tadi belum kubuka. Kuangkat telepon dari Fani dan kutatap kopi susu di atas Meja. Kopi susu yang selalu mengingatkanku kepada seorang Lelaki yang begitu kucintai, Lelaki yang selalu berkata, "Ada kehangatan dari secangkir kopi dan ada kerinduan yang mendalam dari kopi dan susu yang telah menyatu,"

Terima kasih Tuhan, terima kasih untuk anugrah yang telah Engkau beri di kehidupanku ini, di pertemukan dengan suamiku, kami sama-sama saling mencintai. Dan untuk sahabatku, semoga perceraianmu besok di Pengadilan Agama dengan Lelaki pilihan kedua orangtuamu itu berjalan lancar ya sayang.

Ah! Kopi susu, kau memang selalu menjadi teman terbaikku ketika aku sedang dilanda gundah gulana karena mendengar cerita tentang sahabatku itu.

Kuambil cangkir di atas Meja dan kuteguk secara perlahan, Hemm, rasa kopi ini terasa lebih nikmat, setelah tadi mendengarkan kabar dari sahabatku yang mengabarkan bahwa perceraiannya dengan Lelaki pilihan keluarganya itu, telah di setujui oleh keluarga besarnya. Dan dengan bukti-bukti yang ada, sepertinya Lelaki pengecut itu tidak bakal mampu untuk meneruskan sandiwaranya. Agar hubungannya dengan Fani terlihat baik-baik saja di mata orang-orang di sekeliling tempat tinggalnya.

Habis gelap terbitlah terang, Gerhana Bulan dan cahaya kegelapan yang selama ini menaungi kehidupan Fani sepertinya sudah berlalu. Dan entah kenapa saat ini aku seperti tengah melihat Fani tersenyum bahagia menatapku. Senyuman bahagia yang benar-benar tulus keluar dari pancaran jiwanya, bukan senyum kemunafikan seperti yang selama ini dia lakukan selama menjalani kehidupan berumah tangga bersama Lelaki pilihan kedua orangtuanya itu.

Fani, kamu berhak bahagia!

Selesai


Catatan: Di buat oleh, Warkasa1919 dan Aprianidinni. Cerita ini berdasarkan pengakuan dari seseorang yang tidak ingin disebutkan nama aslinya, jika ada kesamaan Foto, nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu hanyalah ilustrasi semata untuk mempermanis cerita dan tidak ada unsur kesengajaan. Artikel ini sudah tayang di secangkirkopibersama.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun