Mohon tunggu...
Warkasa1919
Warkasa1919 Mohon Tunggu... Freelancer - Pejalan

Kata orang, setiap cerita pasti ada akhirnya. Namun dalam cerita hidupku, akhir cerita adalah awal mula kehidupanku yang baru.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Aku dan Wanita Cantik Berkacamata

31 Oktober 2019   09:19 Diperbarui: 31 Oktober 2019   09:25 515
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

<< Sebelumnya

****

Tak lama setelah terhempas di sudut Makam dan setelah Nenek tua berkerudung bergo panjang merah marun itu selesai berbicara pada wanita cantik berkacamata. Tiba--tiba tubuhku menjadi ringan. Seperti asap, diriku kembali tersedot masuk kembali ke dalam tubuh yang saat ini telah berubah, berbulu dan memiliki warna kuning kemerahan sedikit gelap.

Di antara hembusan angin yang bertiup kencang hingga menggugurkan dedaunan di sekitar Makam. Datuk Garang Bamato Merah dan Nenek tua berkerudung bergo panjang warna merah marun itu perlahan melangkah pergi, meninggalkan aku dan wanita cantik berkacamata yang masih menangis sesegukan di tempat ini.

Di bawah siraman cahaya mentari berwarna merah keemasan, wanita cantik berkulit kuning langsat yang mengenakan rok kain panjang berwarna hitam di padu dengan baju atasan berwarna putih ini menatap sayu ke arahku. Walau saat ini aku merasa baik--baik saja dan masih bisa mengerti dengan semua ucapannya, tapi sepertinya wanita cantik berkacamata ini begitu terpukul melihat keadaanku saat ini. 

Sambil kembali mengaum, aku kibas--kibaskan ekorku untuk memberi tanda pada wanita cantik yang tengah menangis sesegukan ini bahwa aku baik--baik saja dan masih bisa mengerti dengan semua ucapannya kepadaku saat ini.

****

Setelah mengaum, pelan--pelan aku jilati wajah dan air mata yang menetes jatuh di kedua pipi wanita cantik berkulit kuning langsat ini. Jujur saja saat ini aku merasa bersalah karena telah membuatnya menangis seperti ini. 

Aku mencintainya, juga merasa bersalah, terlebih setelah tahu bahwa aku adalah orang yang pertama kali menyentuh areal kewanitaan-nya. Jujur saja saat ini aku rela melakukan apa saja untuk menebus semua kesalahanku pada wanita cantik yang tengah menangis sesegukan di sampingku ini.

****
Di antara hembusan angin dan suara isak tangis di pinggir makam di dalam Hutan Larangan. Wanita cantik berkacatamata ini beberapa kali menciumi keningku.

Sebelum wanita cantik ini naik ke atas Sampan-ku, jangankan memperlakukanku seperti ini, menatapku saja sepertinya dia begitu enggan dan tidak pernah mau, apalagi mencium kening dan menatap kedua mataku lama--lama seperti saat ini.

Dulu, entah kenapa wanita berkulit kuning langsat ini selalu berpaling ketempat lain. Terlebih setiap kali kedua matanya itu tanpa sengaja beradu pandang dengan kedua mataku ini. 

Tapi sekarang? Sepertinya gadis kota ini nyaris tak bersekat denganku. Dari tatapan mata-nya yang terlihat sayu, aku menangkap rasa kekawatiran yang begitu besar dari kedua bola mata wanita cantik di depanku ini. 

Entah apa yang tengah di pikirkan oleh wanita cantik berkacamata ini. Sambil sesekali menyeka air matanya yang membanjiri di kedua pipinya, telapak tangan wanita cantik berkacamata ini terus mengusap bulu--bulu di wajahku.

Teringat pertemuanku dengan wanita cantik berkacamata yang mengenakan rok kain panjang berwarna hitam di padu dengan baju atasan berwarna putih ini. Pagi tadi, di bawah langit yang menghitam, dia berjalan terburu-buru ke arahku. 

Sebelum wanita cantik berkacamata ini naik ke atas Sampan, jujur saja belum pernah sekalipun aku berbincang-bincang dengan wanita yang telah mengusik naluri 'kelelakian'ku semenjak kedatangannya pertama kali ke desa terpencil ini. 

Wanita cantik berkacamata ini adalah pendatang baru di desaku. Kota asalnya memiliki jarak tempuh sekitar satu hari perjalanan jika menggunakan kendaraan air ke desa terpencil ini. 

Walau tidak pernah berbincang-bincang langsung dengan wanita cantik berkacamata ini, tapi untuk mengetahui siapa dirinya, bukanlah hal yang terlalu sulit buatku. Pemilik warung kopi di pinggir sungai tempat biasa aku duduk sambil meminum secangkir kopi susu itu cukup lengkap memberikan semua informasi yang aku butuhkan tentang wanita cantik yang tengah menjadi bahan pembicaraan beberapa pemuda di kampungku ini. 

Sebagai lelaki desa yang terkenal cuek dan terlihat tidak perduli dengan kehadiran wanita yang mendapatkan julukan sebagai 'kembang desa' yang baru itu, beberapa pemuda yang tidak pernah menganggap aku sebagai saingan, sambil meneguk kopi, dengan senang hati menceritakan semua yang mereka ketahui tentang wanita cantik yang berasal dari kota itu. Sebagai lelaki, jujur saja kesombongan wanita kota yang terlihat sombong di mataku ini justru membuatku semakin tertarik untuk mencari tahu semua informasi tentang dirinya. 

Sebagai pemuda dusun yang jarang sekali melihat wanita cantik. Selain Mirna, anak kepala desa terpencil ini. Terlalu munafik rasanya jika kukatakan bahwa aku tidak tertarik pada 'kembang desa' yang baru itu. Gadis kota yang saat ini tengah menjadi rebutan beberapa pemuda di desa terpencil ini. 

Entah dosa dan kesalahan apa yang telah kuperbuat dan mungkin telah di ceritakan oleh Mirna, sehingga wanita cantik yang tinggal dan berteman akrab dengan anak gadis kepala desa itu sepertinya berusaha menjauhiku, wanita cantik berkacamata ini sepertinya berusaha menghindar setiap kali melihat atau berpapasan denganku selama berkegiatan di desa ini.

Entah apa yang salah dengan dengan sifat dan penampilanku, sehingga wanita cantik yang berasal dari kota ini begitu. Padahal setahuku, dengan teman-temanku yang juga sesama pendayung sampan, dia tidak pernah begitu. Dengan teman--temanku. Gadis kota ini kulihat bisa tertawa lepas bahkan mau bercanda dengan para pendayung sampan yang mengantarkan dirinya menyeberangi sungai besar itu.

Aku telah lama memperhatikan dirinya, bahkan semenjak wanita cantik berkacamata itu baru pertama kali menginjakkan kedua kakinya di tempat ini. Sebuah desa terpencil yang masih menggunakan sampan sebagai salah satu alat transportasinya.  

Walau aku adalah satu-satu pendayung sampan yang mungkin tidak pernah dia tumpangi selama 19 hari menyebrangi sungai yang memisahkan bangunan Sekolah Dasar tempatnya mengajar dengan tempatnya tinggal selama mengabdi di desa ini. 

Sebagai anak muda yang lahir dan besar di desa yang masih menggunakan Generator listrik menjadi sumber penerangannya di malam hari, karena jaringan listrik belum sampai ketempat ini. Dan sebagai salah satu desa dari sembilan desa lainnya yang menjadi daerah penyangga Kawasan Suaka Margasatwa ini. Bukanlah hal yang terlalu sulit buatku untuk mencari tahu siapa pendatang baru yang telah berhasil membuat anak-anak muda yang biasanya tidak pernah mandi pagi ini tiba-tiba saja merubah kebiasaan hidupnya itu. 

Sambil mengisap asap dari sebatang rokok yang baru selesai kubakar, seperti biasa, dari atas Sampan aku selalu memperhatikan wanita cantik berkacamata yang tengah menyeberangi Sungai tapa ini. Walau selama ini dia tidak pernah sekalipun menyapa apa lagi naik ke atas sampanku, tapi dari tempatku duduk, aku tahu jika selama ini diam--diam ekor matanya itu selalu melirik ke arahku yang juga tengah memperhatikan dirinya.

****
Kulihat dia mengambil tas kerjanya yang tergeletak di pinggir Makam Keramat, sambil membuka retsleting-nya, sepertinya dia sedang mencari sesuatu di dalamnya. 

Setelah mengambil handphone dari dalam tas kerjanya, tak lama kemudian, kulihat dia seperti tengah berusaha menghubungi seseorang melalui gawai di tangannya itu.

Aku tidak tahu apa yang membuat wanita cantik ini terlihat begitu kesal sekali saat ini. Setelah tadi kulihat sempat mengutak atik handphone di tangannya, tiba--tiba saja wanita cantik berkacamata ini kembali menangis sesegukan sambil melihat ke arahku.

Melihatnya dirinya seperti orang yang tengah panik, aku segera bangkit dari posisiku yang sedari tadi hanya duduk dengan cara melipat ke-empat kakiku sambil terus memperhatikannya. 

Hari mulai gelap, aku coba ajak wanita cantik berkulit kuning langsat ini berjalan kembali ke arah tepian sungai tempat dimana aku menambatkan Sampan tadi. Saat ini aku tidak lagi mampu bercakap-cakap dengannya, setelah Nenek tua berkerudung merah marun itu mengutuk diriku berubah menjadi seekor harimau sumatera di tempat ini.

Walau aku tidak mampu berkata--kata untuk mengajaknya pergi meninggalkan tempat ini, Sepertinya wanita cantik berkacamata ini mengetahui maksudku yang hendak mengajaknya pergi meninggalkan tempat ini. Terbukti setelah kembali memasukan handphone ke dalam tas kerjanya, dia segera bergegas, mengikuti langkah kakiku menuju ke arah tempat dimana aku meninggalkan Sampan itu tadi.

****
Di pinggiran Sungai Tapa, tangis wanita cantik berkulit kuning langsat ini kembali pecah, sesaat setelah mengetahui sampan yang menjadi jalan satu-satunya jalan keluar dari tempat ini ternyata sudah tidak berada di tempatnya lagi. Di bawah langit yang menghitam, di pinggir Hutan Larangan, di tepian sungai yang airnya tengah pasang, wanita cantik berkacamata ini kembali menangis sesegukan. 



Catatan : Di buat oleh, Warkasa1919 dan Apriani Dinni. Baca juga Aku dan Harimau Jantan yang di buat oleh, Apriani Dinni. Cerita ini hanya fiksi belaka, jika ada kesamaan Foto, nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun