Mohon tunggu...
Warkasa1919
Warkasa1919 Mohon Tunggu... Freelancer - Pejalan

Kata orang, setiap cerita pasti ada akhirnya. Namun dalam cerita hidupku, akhir cerita adalah awal mula kehidupanku yang baru.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Cinta di Hutan Terlarang

5 September 2019   13:00 Diperbarui: 5 September 2019   21:37 675
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

<< Sebelumnya

****

Setelah memeras celana panjang yang baru selesai kucuci, setelah mengenakannya kembali, mataku kembali melirik ke arah wanita cantik yang wajahnya masih terlihat memerah sambil memalingkan wajahnya ke tempat lain karena merasa jengah melihatku mandi hanya mengenakan celana dalam.

Kulit kayu yang menutupi pondok tempat dimana aku dan wanita cantik ini tengah berteduh memang hanya menutupi dinding sebelah kiri, depan dan belakangnya saja. Sedangkan dinding bagian kanan, di tempat penampungan air hujan tempatku mandi, sama sekali tidak ada penyekat yang menutupinya.

Di sebelah bale-bale kayu, tempat di mana wanita yang semakin terlihat cantik dalam keadaan menggigil kedinginan itu ada tungku api, tungku itu sepertinya adalah tempat yang biasa di pergunakan untuk memasak oleh penghuni pondok selama berada di dalam hutan larangan ini.

****

Setelah memakai celana panjangku kembali, sambil berjalan ke arah wanita cantik yang masih memalingkan wajahnya ketempat lain, aku menanyakan keadaan kakinya yang sakit akibat terjatuh saat tersandung akar kayu tadi tadi.

"Masih sedikit sakit, Mas," Jawabnya pelan sambil melihat ke arah pergelangan kakinya yang tadi terlihat sedikit memerah itu.

"Coba kulihat, semoga tidak parah." kataku sambil jongkok di depannya, lalu memegang pergelangan kakinya yang terasa sakit itu.

"Aduh!"

Terdengar suara wanita cantik ini terpekik menahan rasa sakit saat aku menyentuh bagian pergelangan kakinya yang terasa sakit itu, warna kulitnya tampak memerah. Tapi dari bekas luka yang sedikit memar itu aku tahu bahwa luka di pergelangan kakinya itu tidaklah terlalu parah.

****

"Masih terasa sakit?" Tanyaku setelah selesai mengurut pergelangan kakinya. Wanita cantik yang meluruskan kedua kaki nya di atas kedua pahaku itu tersenyum menatapku yang duduk di sebelahnya, di atas bale-bale yang terbuat dari potongan kayu-kayu kecil sebesar lengan lelaki dewasa serta di alasi dengan kulit kayu.

Walaupun bale-bale kayu ini terlihat sederhana, tapi menurutku cukup nyaman jika di pakai untuk tidur, apalagi jika dalam keadaan tubuh yang sudah begitu letih karena seharian mencari kayu gaharu di tengah-tengah Hutan larangan yang masih terawat ini.

"Udah sedikit berkurang, terima kasih Mas." Katanya pelan sambil tersenyum menatapku.

Setelah kedua kaki wanita cantik ini turun dari atas pahaku, aku segera turun dari atas bale-bale kayu, bergerak menuju ke arah tungku. Setelah sekian lama menggeledah barang-barang di atas tungku yang biasa di pakai buat memasak nasi oleh para pencari kayu gaharu.

Setelah meneguk air di dalam kendi, dan setelah sekian lama tidak ada reaksi di tubuhku, segera kusodorkan kendi berisi air putih itu ke arah wanita cantik yang sedari tadi terus mengawasi semua gerak-gerikku di dalam pondok kayu ini.

"Minumlah," kataku sambil menyodorkan kendi berisi air di dalam genggamanku itu ke arahnya.

Wanita cantik berwajah sedikit pucat itu sedikit ragu menerima kendi dari tanganku, sepertinya dia masih takut memakan atau meminum air yang ada di dalam pondok kayu yang baru di masukinya ini.

"Minumlah, kalau memang air ini beracun tentu aku sudah mati kelojotan dengan mulut berbusa setelah meminum air ini tadi." Kataku pelan sambil tertawa ke arah wanita cantik yang masih terlihat ragu-ragu menerima kendi dari tangan kananku.

Setelah melihatku begitu yakin bahwa air yang ada di dalam genggamannya itu aman, dengan perlahan, setelah mengintip air di dalam kendi terlebih dulu, akhirnya sambil melihat ke arahku dia meminum air itu. 

Setelah melihat wanita cantik ini meminum air di dalam kendi itu, aku segera kembali ke arah tungku yang biasa di pakai untuk memasak oleh penghuni pondok kayu ini.

Tidak menemukan apa yang aku cari di atas rak yang terbuat dari kayu di sebelah tungku, aku segera mencari di sudut pondok yang letaknya tidak begitu jauh dari tungku milik para pencari kayu gaharu ini. Di sudut lainnya, tidak jauh dari atas tungku, aku melihat ada gula, kopi dan juga rokok klembak menyan peninggalan para pencari kayu gaharu.

Rokok Klembak Menyan, atau dikenal juga dengan nama 'rokok siong' adalah rokok yang terbuat dari daun tembakau, akar klembak dan menyan yang dilinting atau digulung dengan kertas papier.

Rokok ini populer di kalangan petani dan buruh di sekitar pesisir selatan Jawa Tengah, yang membentang dari Cilacap, Banyumas, Purwokerto, Purbalingga, Sumpiuh, Tambak, Gombong, Karanganyar, Kebumen sampai daerah Purworejo. 

Rokok ini populer karena harga yang relatif murah dan terjangkau untuk kalangan bawah. Selain itu diyakini oleh sebagian orang dapat digunakan sebagai obat mengatasi batuk, sembelit dan sebagai wangi-wangian. 

Saat ini, kondisi penjualan rokok jenis ini sudah stagnan dan cenderung menurun, karena hanya orang-orang yang sudah tua dan sepuh yang menghisap rokok ini. Orang-orang yang lebih muda lebih suka menghisap rokok putih dan rokok kretek yang lebih populer, sedangkan rokok klembak lebih banyak digunakan sebagai rokok sesaji untuk keperluan sesaji dalam upacara pengiriman doa seperti selamatan maupun perayaan hari besar seperti sedekah bumi maupun sedekah laut di daerah pedesaan. 

Setelah melinting rokok klembak menyan peninggalan para pencari gaharu di dalam pondok kayu ini, aku segera membakar rokok yang baru selesai aku linting itu. Setelah menghisapnya dalam-dalam, aku segera menyalakan api di tungku perapian. Setelah api menyala, ketika hendak mengambil air di tempat penampungan air untuk merebus air dan membuat kopi, wanita cantik yang masih terus melihat perbuatanku ini tiba-tiba menegurku.

"Mas, nggak baik mengambil dan memakai barang-barang milik orang di dalam pondok kayu ini tanpa seizin orangnya, Mas." Katanya pelan, berusaha mengingatkanku, agar tidak sembarangan memakai barang-barang milik orang lain tanpa seizing pemiliknya.

"Iya aku tahu, tapi biasanya barang-barang seperti gula, kopi, rokok dan lainnya yang sengaja di tinggalkan oleh pemiliknya di dalam pondok di tengah-tengah hutan seperti ini, setahuku memang boleh di gunakan, terlebih oleh orang-orang yang sedang membutuhkan seperti kita ini." Kataku sambil tertawa kecil ke arahnya.

Setahuku memang sudah menjadi seperti peraturan yang tidak tertulis di antara para penjelajah dan pekerja di dalam hutan. Biasanya mereka memang sengaja tidak membawa semua bahan makanan dan peralatan yang kurang bernilai di dalam pondok-pondok yang mereka tinggalkan di dalam hutan. Sengaja mereka tinggalkan dengan pemikiran, mana tahu ada orang-orang yang tersesat di dalam hutan dan membutuhkan makanan, juga sebagai persedian seandainya mereka suatu saat akan kembali lagi ketempat ini.

"Izin ya Tuk, cucu mau meminta dan mau menumpang membuat kopi," kataku pelan, sedikit bercanda sambil tertawa melihat ke arah wanita cantik yang sepertinya masih takut-takut dengan sikap konyolku selama berada di dalam pondok kayu ini.

****

Setelah mengambil dan menjerang air di atas tungku, sambil mengisap asap rokok klembak menyan dalam-dalam, sambil menghembuskan asapnya pelan-pelan, aku berjalan ke arah wanita cantik yang tengah duduk di atas bale-bale kayu.

"Maaf, tadi sampan yang kita naiki tak bisa aku kendalikan lagi, makanya kita bisa sampai terdampar di tempat ini," kataku pelan, merasa bersalah sendiri saat melihat wanita cantik bertubuh sintal yang tengah duduk di sebelahku ini menggigil kedinginan.

"Tidak ada yang perlu di maafkan. Aku tahu tadi Mas sudah berusaha, tapi tetap tidak bisa mengendalikan sampannya, karena arus sungai yang deras itu tadi mematahkan kayu pendayung sampan yang Mas miliki, untung tadi kita tidak tenggelam, walau terdampar di tempat ini, tapi aku bersukur kita masih bisa selamat hingga saat ini," jawabnya pelan, sambil tersenyum malu-malu menatapku.

Di luar pondok kayu, hujan kembali turun dengan lebatnya. Di antara cahaya kilat dan suara petir yang sepertinya saling bersahutan, mengandalkan cahaya api dari tungku yang baru saja selesai aku nyalakan saat menjerang air tadi, cahaya di dalam pondok ini terlihat makin temaram.

"Duaarr!"

Secara reflek wanita cantik yang saat ini tidak memakai kacamata dan kerudung berwarna hitam untuk menutupi kepalanya itu memelukku, sepertinya dia begitu kaget mendengar suara petir yang terdengar begitu kencang itu.

"Mas, aku takut." Bisiknya pelan, sambil memeluk erat tubuhku.

"Tidak ada yang perlu di takutkan, mudah-mudahan kita aman berada di dalam pondok ini," kataku pelan sambil membuang puntung rokok klembak menyan dari tanganku, walaupun aku seorang perokok, aku tahu bahwa asap rokok itu kurang begitu baik bagi kesehatannya, sambil mengusap-usap rambut kepalanya, berusaha menenangkannya.

Dalam diam, di antara derasnya suara air hujan di dalam pondok di tengah-tengah Hutan larangan kami saling berpelukan. Dapat kurasakan hembusan nafas dan debaran jantungnya saat memeluk erat tubuhku ini.

Desiran darah di tubuhnya seperti kembali menyatu dengan getaran birahiku saat ini. Setelah mengecup lembut kening wanita cantik berkulit kuning langsat ini, kucoba lumat bibirnya, siapa sangka, ternyata wanita cantik yang sehari-harinya mengenakan kacamata itu membalas lumatan bibirku. Cukup lama kami berpanggutan antara satu dengan yang lainnya.

Masih memeluk erat tubuhnya, kurebahkan tubuh wanita cantik yang memiliki rambut ikal sebahu itu di atas kulit kayu yang menjadi alas bale-bale yang terbuat dari potongan-potongan batang kayu kecil itu. Sambil terus melumat bibirnya, wanita cantik yang saat ini sudah berada di dalam pelukanku itu terus membalas lumatan bibirku.

Di antara derasnya air hujan, di dalam pondok kayu di dalam Hutan larangan. Sambil terus melumat bibir wanita cantik di dalam dekapanku, aku berusaha membuka kancing baju yang di kenakannya satu persatu. Di antara aroma wangi asap yang berasal dari pembakaran kulit kayu gaharu di bawah tungku yang tadi aku nyalakan saat menjerang air. Sambil menggelinjang kegelian saat aku menghujami tubuhnya dengan ciuman, wanita cantik berkulit kuning langsat itu hanya mampu mendesah tanpa mampu mencegah, saat jemari tanganku pelan-pelan berhasil menyingkapkan dan masuk ke balik kain rok panjang yang di kenakannya.


Bahan bacaan : 1

Catatan : Di buat oleh, Warkasa1919 dan Apriani Dinni. Baca juga Cinta di Pondok Hutan Terlarang yang di buat oleh, Apriani Dinni. Cerita ini hanya fiksi belaka, jika ada kesamaan Foto, nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun