Mohon tunggu...
Hendra Wardhana
Hendra Wardhana Mohon Tunggu... Administrasi - soulmateKAHITNA

Anggrek Indonesia & KAHITNA | Kompasiana Award 2014 Kategori Berita | www.hendrawardhana.com | wardhana.hendra@yahoo.com | @_hendrawardhana

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Semarak Pilkades, Harapan di Tengah Rasa Apatis

17 Februari 2013   09:02 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:10 1192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Banyak di antara kita mungkin sudah mati rasa dengan kata demokrasi di negeri ini. Banyak masyarakat Indonesia pun sudah tak peduli lagi ketika mendengar kata pemilihan umum, pilkada dan seterusnya. Alasannya nyaris seragam : banyak janji tapi “nol” realisasi. Bahkan ketika reformasi bergulir tahun 15 tahun lalu, rasa yang mati itu tak juga terobati. Sebaliknya, mereka yang awalnya masih menyimpang harapan, justru ikut mati rasa melihat apa yang dihasilkan dari demokrasi dan pemilihan umum pasca reformasi.

Demokrasi di negeri ini yang disimbolkan dengan pemilu dan pilkada justru membuat banyak orang menjadi apatis. Setiap kali datang pemilihan presiden dan kepala daerah, setiap itu pula janji-janji manis terulang. Tapi akhirnya setiap kali pula rakyat dibuat kecewa berulang. Pemilihan umum dan pilkada hanya melahirkan pemimpin-pemimpin dan wakil rakyat yang ingkar dan menghianati amanah. Tak heran jika semakin banyak orang yang menarik  partisipasinya dalam setiap pemilihan baik di tingkat nasional hingga daerah.

Antara trauma, kecewa atau memang sudah benar-benar tak peduli lagi, setiap pemilu berlangsung, TPS-TPS semakin sepi. Pemilihan itu bukan lagi pesta demokrasi untuk rakyat, tapi hanya pesta untuk sekelompok kecil orang yang memperalat rakyat. Masyarakat mulai berhenti berharap. Setidaknya fenomena itu banyak dan nyata dijumpai  di masyarakat perkotaan.

Tapi kepulangan secara tak sengaja ke kampung halaman akhir pekan kemarin mengagetkan saya. Ini pertama kalinya saya menyaksikan dan memperhatikan sebuah pemilihan kepala desa. Yang terbayang di dalam pikiran saya sebelumya, pilkades tak lebih dari sekedar pemilihan kepala kampung yang akan sepi perhatian. Jika memilih seorang wakil rakyat, walikota atau gubernur saja masyarakat sudah apatis, apalagi hanya memilih seorang kepala desa ?.

Pemilihan Kepala Desa dimulai !

Siang itu arak-arakkan tiga calon kepala desa mengelilingi kampung. Ketiga calon yang baru saja melakukan undian nomor urut dan simbol menumpang sebuah mobil bak terbuka. Mereka berkeliling desa melakukan sosialisasi sederhana. Mereka tak membawa nama, hanya sebuah simbol gambar unik yang mewakili identitas mereka sebagai calon kepada desa :  ketela, padi dan jagung.

1361061630291155017
1361061630291155017

13610618361260480027
13610618361260480027

Tak ada orasi janji dan tak ada kampanye. Tak ada juga teriakan para pendukung mereka. Hanya beberapa orang “tim sukses” yang ikut menempelkan fotokopi gambar calon kepala desa di beberapa tembok dan pagar rumah. Hanya rumah setiap calon kepala desa saja yang ramai dipasangi tenda, poster dan tanaman sesuai simbol masing-masing calon. Selebihnya hari itu berlangsung seperti biasa. Warga pun tampak biasa saja, tak ada gerombolan yang ikut berpawai atau berdiri di pinggir jalan. Saya fikir masyarakat desa juga sudah mulai acuh terhadap pemilihan kepala kampung mereka sendiri.

Tapi pendapat  saya teranulir esok harinya. Ini pertama kalinya saya menyaksikan pesta demokrasi sederhana di desa dan itu mengesankan. Saya bahkan tak melihat antrian seperti ini waktu pemilihan presiden, anggota parlemen dan partai politik.

1361062360732043332
1361062360732043332

13610627611118566515
13610627611118566515

13610631841780145023
13610631841780145023

13610660651666421887
13610660651666421887

Antrian untuk memilih dan menitipkan harapan kepada kepala desa yang baru

Pagi itu jalan desa berubah sesak dan ramai. Sedari jam 9 hingga lewat tengah siang, pemungutan suara yang semuanya dilakukan di balai desa ramai oleh penduduk desa. Tua muda, laki-laki dan perempuan berjalan menuju arah yang sama. Dan ketika antrian memanjang mereka tetap berdiri di tempat. Yang luar biasa bagi saya, usai mencoblos mereka tak langsung pergi tapi memilih berkumpul di depan balai desa, menantikan saat-saat penghitungan suara tiba. Begitu besarkah harapan dan perhatian mereka kepada event yang hanya pemilihan kepala desa ?.

13610638182077811588
13610638182077811588

13610633732028933305
13610633732028933305
Berjalan dan menyerbu balai desa

Mendengarkan suara-suara perbincangan di tengah keramaian itu, saya akhirnya bisa mengerti mengapa masih ada harapan bagi mereka di tengah suara apatis dan pesimis kepada para wakil rakyat dan kepala daerahnya di jajaran yang lebih atas. Bagi mereka sosok kepala desa jauh lebih bisa diharapkan dan dipercaya mengubah hidup mereka dibanding janji wakil rakyat, presiden atau kepala daerah. Setiap dari mereka mengenal betul siapa yang dipilihnya, mereka tak merasa membeli kucing dalam karung seperti halnya yang selalu mereka alami setiap kali pemilu atau pilkada. Apa yang dikerjakan oleh seorang kepala desa dirasakan jauh lebih berwujud nyata dan menyentuh langsung keseharian mereka.

Harapan masyarakat desa akan pemimpin kampungnya pun terbaca dari simbol-simbol dalam pemilihan kepala desa. Calon kepala desa tidak menggunakan nama melainkan gambar tanaman-tanaman seperti Jagung, Ketela, Padi dan sebagainya. Di dalam kertas suarapun tidak tertulis nama mereka. Hanya gambar-gambar yang melambangkan kearifan dan kemakmuran kehidupan desa yang ditampilkan dalam surat suara. Dan lihatlah jalan desa yang dipenuhi penduduk itu. Mereka mengelilingi balai desa, masuk menuju bilik suara lalu berdiri di luar sambil memasang wajah tegang menanti siapa kepala kampung terpilih yang akan memimpin mereka. Pemandangan dan semangat seperti ini bahkan tak saya jumpai di pilkada atau pemilu-pemilu yang lalu. Semarak ini sangat mengagumkan.

Jelang sore pemungutan suara selesai, lebih dari 2000 suara sah dihitung. Semua orang merapat ke pagar balai desa. Ada juga yang memilih berkumpul di satu sudut sambil membahas keseharian mereka. Tak ada perang yel-yel. Semua berlangsung sederhana meski saya bisa merasakan ketegangan di dalam keramaian ini.

13610642051349695857
13610642051349695857
Berkumpul di muka balai desa menantikan pemimpin desa terpilih

Semua menunggu, menyaksikan dengan penuh harap dan meraba-raba pemenang pilkades kali ini. Uniknya saat penghitungan suara nyaris tak ada teriakan pendukung seperti yang kerap dijumpai saat penghitungan suara partai atau presiden ketika pemilu. Semua tampak tenang, sabar tapi tetap antusias. Beberapa orang bahkan ikut mencatat hasil penghitungan.

1361064457463671827
1361064457463671827
Ikut menghitung suara

Akhirnya pemandangan yang mengagumkan bagi saya terjadi beberap jam kemudian. Hasil penghitungan suara diumumkan. Perolehan suara setiap calon kepala desa disebutkan tanpa nama, hanya tanda gambarnya saja. Pertama kali dumumkan tanda pagar padi. Tepuk tangan riuh. Selanjutnya tanda gambar ketela, tepuk tangan pecah lebih riuh lagi. Terakhir tanda gambar jagung, tepuk tangan tak kalah seru. Dan akhirnya pesta itu melahirkan pemenangnya. Sayapun terkejut melihat ekspresi kegembiraan beberapa warga setelah mengetahui siapa pemimpin terpilih mereka. Ada teriakan, ada lompatan, ada juga pelukan di antara orang-orang itu. Wajah-wajah emosional yang meluapkan kebahagiaan tergambar dengan jelas di sana. Bagi saya ini luar biasa. Ekspresi seriang ini rasanya tak saya jumpai sebelumnya ketika pemilihan presiden dan pilkada  yang lalu.

136106482526524005
136106482526524005

13610649981549831649
13610649981549831649

13610655481042982347
13610655481042982347
Kegembiraan menyambut pemimpin desa yang baru

Semarak sederhana pemilihan kepala desa ternyata masih menyisakan harapan bagi mereka. Di tengah apatisme kepada wakil rakyat dan para pemimpin daerah, di desa bilik suara pemilihan kepala kampung belum ditinggalkan. Harapan dari mereka yang belum mati rasa dan masih menyimpan percaya kepada pemimpin mereka. Di desa, demokrasi itu masih bisa dirayakan sebagai pesta, sederhana tapi penuh asa.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun