Mohon tunggu...
Hendra Wardhana
Hendra Wardhana Mohon Tunggu... Administrasi - soulmateKAHITNA

Anggrek Indonesia & KAHITNA | Kompasiana Award 2014 Kategori Berita | www.hendrawardhana.com | wardhana.hendra@yahoo.com | @_hendrawardhana

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Indonesia, Bangsa yang Memiskinkan Rakyatnya Sendiri

11 Maret 2015   12:34 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:49 243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beberapa hari lalu saat pulang sore hari, saya mengalami peristiwa kurang mengenakkan di perempatan MM UGM. Saat sedang berhenti karena lampu merah, seorang anak kecil dengan sengaja menyiramkan air dari dalam kaleng kecil yang dia bawa ke arah celana panjang saya hingga basah di beberapa bagian. Usai menyiram ia berjalan berlalu begitu saja tanpa rasa bersalah. Melihatnya saya hanya menggelengkan kepala memaknai perbuatan sang anak. Hanya senyum kecut di bibir tanpa ada keinginan turun menghampiri apalagi memarahi anak itu. Saya merasa tak perlu melakukannya. Justru seorang ibu di samping saya yang bereaksi: “eh, kok nakal banget!”. Celetuk sang ibu dengan suara agak keras. “Sudah bu, nggak papa”, jawab saya singkat.

Saya hafal dengan sang anak itu. Setiap ia hari berlalu lalang di perempatan MM untuk meminta uang dari pengguna jalan. Umurnya saya taksir belum ada 10 tahun. Kulitnya coklat legam, rambutnya cepak. badannya kecil namun sorot matanya tajam. Setiap lampu merah menyala ia turun ke jalan menyisir kendaraan sambil mengulurkan kaleng kecil. Ia tampak sudah terbiasa menikmati caranya mendapatkan uang.

Beberapa kali saya melihatnya kesal ketika pengendara yang ia hampiri tak memasukkan uang ke dalam kalengnya. Kekesalannya kerap ditunjukkan dengan sejumlah tingkah nakal seperti menendang ban motor, menabok spion meski tidak keras, menggaruk-garuk badan mobil hingga yang saya alami yakni menyiramkan air. Menyedihkan sekali.

[caption id="attachment_355093" align="aligncenter" width="604" caption="Reklame berisi himbaun untuk tidak memberi uang kepada pengemis dan peminta-minta terpasang di jalan lingkar selatan Yogyakarta."][/caption]

Selalu terlintas pikiran yang sama setiap kali berada di lampu merah dan menjumpai anak-anak peminta. Antara iba karena jalanan bukanlah tempat yang baik untuk anak-anak. Meminta-minta bukan sesuatu yang harus mereka lakukan di masa kecilnya. Sementara di antara mereka seringkali berperilaku tak sopan yang membuat orang berbalik benci dan enggan memberi.

Sebagai manusia kita tak bisa mengingkari rasa empati. Itu sebabnya kita kerap tergerak memberikan uang sekadarnya kepada anak jalanan dan peminta di perempatan lampu merah. Meski hal itu belum tentu menolong mereka. Apalagi ada peraturan daerah yang melarang masyarakat memberikan uang kepada peminta dan anak jalanan.

Selama ini saya menganggap aturan itu bukan larangan, melainkan himbauan. Ketika ingin memberi tak mengapa melakukannya. Sebaliknya jika tak bisa memberi juga bukan persoalan dan mungkin lebih baik. Sore itu saya memilih tak memberi dan sang anak pun kesal hingga menyiram celana panjang saya dengan sisa air hujan di kaleng miliknya.

Para anak jalanan itu mungkin tak pernah berkeinginan untuk menjadi peminta. Menjalani hidup sebagai pengemis tak hanya membuat masa kecil mereka terampas. Di saat yang sama secara perlahan mereka sedang tumbuh menjadi pribadi yang tak menyenangkan. Jauh di bawah alam sadar mereka, jiwa anak-anak itu menjerit namun tak bisa apa-apa. Mereka adalah korban, calon tunas bangsa yang mungkin layu terlalu dini.

“Pemulung Dilarang Masuk”. Tak hanya anak jalanan dan peminta-minta, dilema yang sama juga kita rasakan kepada kaum pemulung. Para pemulung sebenarnya adalah pahlawan lingkungan yang berjasa besar. Mereka bukan hanya memungut sampah tapi juga “membersihkan” jejak-jejak kita yang gemar menghasilkan sampah dan mencemari lingkungan. Namun mereka dicap sangat buruk dan rendah hanya karena segelintir dari mereka suka mengambil barang masih terpakai di pinggir jalan atau di depan rumah. Padahal koruptor paling buruk sekalipun tak pernah mendapat cap menyakitkan seperti itu. Bahkan pencuri kekayaan alam yang merusak lingkungan dibiarkan menikmati hidup nyaman.

Anak jalanan yang meminta-minta dan pemulung yang dilarang masuk adalah korban dari bangsa ini sendiri. Bangsa ini seperti gemar memiskinkan rakyatnya sendiri. Mereka dilarang menjadi pengemis dan masyarakat dilarang memberi, sementara yang berkewajiban memakmurkan rakyat justru menyenangkan diri sendiri. Untuk apa sebuah daerah melarang masyarakatnya memberi uang kepada pengemis jalanan tapi bertahun-tahun membiarkan kemiskinan di daerahnya menggurita?. Tak ingin ada rakyat miskin namun membiarkan tanahnya dijajah untuk bangunan-bangunan megah yang tak membawa manfaat bagi masyarakat. Bangsa ini melarang pemulung masuk tapi membuka pintu untuk para perusak lingkungan.

[caption id="attachment_355094" align="aligncenter" width="601" caption="Larangan masuk ditujukan kepada pemulung dan pengamen di sebuah kampung di kota Yogyakarta."]

14260512601457178842
14260512601457178842
[/caption]

Lalu ada “Beras Untuk Rakyat Miskin” atau “Raskin” yang sangat tidak enak didengar. Praktiknya pun masyarakat yang berhak seringkali menerima beras yang buruk kondisinya. Ironisnya lagi tak sedikit orang yang akhirnya “memiskinkan” dirinya sendiri demi untuk mendapatkan beras tersebut.

Setelah beras, gas LPG 3 kg juga akan dilabeli “miskin”. Apakah itu akan menjadi solusi terbaik untuk mencegah kelangkaan LGP 3 kg?. Bisa ditebak yang terjadi justru orang mampu tak segan dan tak malu memilih memiskinkan dirinya sendiri demi menikmati gas murah.

Di tempat lain, mengapa spanduk-spanduk di SPBU yang bertuliskan “Premium Hanya Untuk Orang Tidak Mampu” tidak diganti dengan “Orang Mampu Wajib Menggunakan Pertamax?”. Bangsa ini, di tangan pemimpin-pemimpinnya sampai kapan akan memiskinkan rakyatnya sendiri?.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun