Wakil Presiden Gibran kembali mengunggah monolog terbarunya di youtube pada Sabtu, 10 Mei 2025. Selain masih berkutat pada topik hilirisasi, monolog kali ini juga menyinggung persoalan swasembada pangan.
Mengamati kolom komentarnya, monolog tersebut agaknya lebih diapresiasi netizen. Terlepas apakah komentar-komentarnya berasal dari buzzer atau benar-benar organik, Â monolog kali ini tidak terlalu sumbang terdengar.
Rangkaian monolog Wakil Presiden Gibran yang diunggah ke youtube memang menjadi perbincangan khalayak luas selama beberapa waktu belakangan. Konten-konten tersebut oleh sejumlah kalangan dianggap sebagai strategi Gibran memulai start menuju kontes pemilu 2029. Monolog yang mengangkat topik-topik strategis dan populer seperti kecerdasan buatan, bonus demografi, dan hilirisasi, mengesankan Gibran ingin dikenal sebagai calon pemimpin masa depan yang visioner sekaligus up to date.Â
Sayangnya, monolog Wapres termuda Indonesia Indonesia ini mendapat banyak reaksi negatif. Itu terlihat salah satunya lewat banyaknya "jempol terbalik" yang diberikan di unggahannya pada halaman youtube.
Selain sentimen terhadap diri Wapres, faktor lain yang memicu penilaian negatif terhadap monolog wapres ialah soal cara penyampaian, kualitas, dan kedalaman isinya. Wapres Gibran dinilai sekadar membaca teks yang dipajang di hadapannya tanpa sungguh-sungguh menguasai isinya. Tidak sedikit khalayak yang bertanya-tanya, mungkinkah Wapres sekadar mengikuti teks yang dikreasikan oleh kecerdasan buatan?
Monolog memang bisa dan biasa digunakan sebagai strategi propaganda. Dalam hal ini pilihan Wapres Gibran untuk membuat dan mengunggah rangkaian monolog di youtube bisa dimengerti sebagai langkah cerdik.
Namun, Wapres Gibran nampaknya lupa memberi perhatian yang seimbang antara isi dan teknik. Monolog yang efektif dan berhasil perlu menyeimbangkan antara isi dan teknik penyampaian agar mutunya tidak tenggelam. Seorang pembawa monolog sebaiknya mengutamakan pengungkapan gagasan dan cerita supaya pendengar atau penonton mendapat kepuasan serta pengalaman yang berkesan. Dalam hal ini monolog harus berasal dari gagasan dan pemikiran Wapres Gibran sendiri,
Monolog yang baik dibuat dengan  bahan-bahan dasar yang bermutu lebih dahulu. Kemudian direnungkan dan dirumuskan dalam bentuk pemikiran. Selanjutnya direncanakan cara  penyampaianya agar berhasil menyentuh pembaca, pendengar, dan penonton.
Soal bahan-bahan dasar yang bermutu dan merumuskan pemikiran perlu mendapat perhatian lebih besar. Menyimak saat Wapres Gibran menyinggung tentang hilirisasi dengan mengutip contoh daun teh dan tentang peran generasi muda, justru menimbulkan kesan bahwa Wapres tidak memiliki gagasan dan pemikiran yang baru. Kalau sekadar memberi contoh daun teh atau mengulang tentang bonus demografi, hal itu juga bisa dilakukan oleh murid sekolah menengah pertama.Â
Salah satu kemungkinan penyebab Monolog Wapres Gibran kurang bermutu adalah karena ia kurang memiliki referensi atau kurang waktu untuk membaca lebih banyak buku. Kesibukan seorang Wapres dengan banyak pekerjaan mengurus negara barangkali membuatnya jarang menyentuh buku-buku.Â