"Lewat Larasati, Midah, Gadis Pantai, dan Nyai Ontosoroh, Pramoedya Ananta Toer membuat suara kaum wanita yang tertindas dan disepelekan menjadi lantang terdengar"
Bicara Pramoedya Ananta Toer, bicara tentang pembebasan dan perlawanan. Semua sepakat karena banyak di antara karya Pram menyerukan perlunya manusia berjuang melawan penindasan dan ketidakadilan yang merendahkan harkat kemanusiaan.
Berkaitan dengan itu Pramoedya juga mengagumi daya dan kekuatan kaum wanita. Meski dalam beberapa cerita wanita muncul sebagai manusia yang tertindas, terkekang dan kalah, Pram percaya bahwa wanita dasarnya memiliki kekuatan luar biasa.
Di balik lembut dan gemulainya, punggung wanita mampu menahan beban terberat sekalipun. Soal mengarungi kerasnya kehidupan, wanita sanggup berjuang dan memimpin secara bersamaan.
Keyakinan Pram itu tercermin pada sejumlah karyanya. Sosok wanita tak sekadar tambahan pelengkap cerita. Pram menjadikan wanita sebagai lakon utama pada kisah-kisah yang berlatar era ketika kaum pria dan bangsawa dianggap sebagai raja yang paling berkuasa dan berhak mengatur kehidupan.Â
Mari sejenak resapi  kembali beberapa sosok wanita dalam karya-karya Pramoedya.
Larasati
Larasati adalah tokoh utama dalam novel Larasati yang pertama kali dibukukan pada tahun 2000. Melalui Larasati, Pram menunjukkan bahwa kaum wanita juga mampu membela bangsanya.Â
Sebagai seorang wanita, Larasati dilingkupi pertanyaan apa yang sudah ia berikan bagi bangsanya. Larasati ingin seperti kaum pejuang yang membela tanah airnya di medan perang.
Hijrah dari Yogyakarta menuju Jakarta yang saat itu diduduki oleh Belanda menunjukkan besarnya pengorbanan Larasati meninggalkan "zona aman dan nyaman" demi mendukung perjuangan.
Meski awalnya bukan wanita pemberani yang bebas dari ketakutan-ketakutan, tekad untuk berkontribusi kepada kemerdekaan membuat Larasati sanggup menempuhi perjalanan penuh rintangan.Â