Namun, pada akhirnya kami harus menerima situasi sulit ini dengan penuh kerelaan. Rumah sakit telah bekerja dengan sangat baik. Tak mungkin kami memaksakan kehendak karena ambulans dan tenaga pengurusan jenazah Covid-19 memang sedang terbatas.
Di sisi lain kesedihan telah menumpuk di hati kami semua. Kami hanya bisa menunggu sambil mengingat-ngingat sebanyak mungkin kenangan tentang almarhumah. Ia salah satu yang termuda di antara kami. Usianya belum genap 30 tahun. Ia satu dari sedikit sepupu perempuan di keluarga besar kami. Saudara kami kebanyakan laki-laki.
Keluarganya sangat dekat dengan keluarga saya. Di antara kediaman para saudara, rumahnya merupakan yang paling sering kami datangi. Jikalau lebaran dan ada silaturahmi keluarga, rumahnya selalu menjadi tempat kami transit.
Okta, adik sepupu kami itu telah berusaha melawan Covid-19 yang menyerangnya. Dengan cepat virus Corona melemahkan pertahanan tubuhnya. Kami bahkan hanya diberi waktu 1 hari untuk mencerna semuanya.
Hari saat ia pergi adalah hari ketika lonjakan kasus kematian akibat Covid-19 mulai meningkat tajam dan berita-berita soal penuhnya kamar rumah sakit mulai lebih sering terdengar. Hari itu juga hari ketika saya membaca sebuah berita di media sosial dan menjumpai banyak komentar dari orang-orang yang menertawakan vaksin dan menuduh para pasien Covid-19 sebagai pelaku konspirasi yang di-endorse.
Selasa, 29 Juni 2021, dalam keheningan malam adik kami dikebumikan tanpa kami bisa melihatnya untuk terakhir kali. Di antara kami yang ditinggalkan ada seorang balita 3 tahun yang memanggilnya, "Mama".