Mohon tunggu...
Hendra Wardhana
Hendra Wardhana Mohon Tunggu... Administrasi - soulmateKAHITNA

Anggrek Indonesia & KAHITNA | Kompasiana Award 2014 Kategori Berita | www.hendrawardhana.com | wardhana.hendra@yahoo.com | @_hendrawardhana

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Tolong, Jangan Anggap Rendah Kopi Instan!

22 Mei 2021   09:05 Diperbarui: 22 Mei 2021   09:23 655
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kopi instan di Sabtu pagi | dok. pribadi.

Haruskah ada kasta dan diskriminasi dalam secangkir kopi?

Pandemi tak mempengaruhi pekatnya aroma kopi. Begitu kesimpulan saya setelah melihat dan mengamati dua kedai kopi baru di utara kampus UGM. Keduanya dibuka pada pertengahan tahun 2020 lalu ketika pandemi Covid-19 mulai mengganas.

Saya lumayan kaget bercampur heran melihat kedua kedai kopi itu berani membuka usaha saat banyak tempat usaha memilih menutup atau mengetatkan bisnisnya akibat cekaman ekonomi yang dahsyat. Salah satu kedai bahkan mengambil lokasi persis di timur gedung MM UGM. Tempat yang sangat strategis dan pasti teramat mahal biasa sewanya.

Memanfaatkan bekas bangunan toko kamera terbesar di DIY, kedai kopi ini seolah punya kepercayaan diri yang tinggi untuk menantang badai pandemi. Tampak pula optimisme  untuk bersaing dengan deretan kedai kopi ternama yang lebih dulu eksis di kawasan UGM, mulai dari yang berembel-embel "Jiwa", "Hati", sampai "Bucks".

Saya belum mencoba kedai kopi tersebut. Pada dasarnya kedai kopi bukan tempat saya biasa nongkrong. Walau demikian setiap hari mudah teramati suasana kedai-kedai kopi tersebut. Sejak pagi sudah ada muda-mudi yang duduk menunggu secangkir kopi dari sang barista.

Menurut saya ini luar biasa. Apalagi suasananya agak kontras dengan sekitarnya yang lebih lengang. Bukti bahwa pandemi tak menghentikan dahaga orang-orang terhadap kopi. Corona sepertinya tak mengurangi jumlah kopi yang perlu disesap oleh para penikmatnya.

Bahkan, barangkali seorang penggemar kopi menjadi lebih banyak menenggak minuman ini selama pandemi. Kopi jadi teman saat work from home, jadi pendamping kuliah online, dan jadi pelarian dari rasa bosan yang terpaksa harus dihadapi setiap hari selama pembatasan sosial.

Pantas diakui bahwa kopi memang lebih dari sekedar minuman. Keampuhan kopi "menyelesaikan" banyak masalah melampaui kepekatan warna dan aromanya yang nikmat. Melampaui pula harganya yang bisa dibilang sering tidak murah.

Karena alasan harga itu pula saya tidak terlalu berminat untuk menjadi member kedai kopi. Sesekali saya memang berkunjung ke kedai kopi. Pernah pula beberapa kali saya berkunjung jauh ke Kulonprogo mencapai ketinggian Pegunungan Menoreh untuk mencicipi kopi yang diseduh langsung oleh petaninya. Aroma dan rasanya sangat nikmat, walau saya perlu menambahkan gula. Agak cupu memang karena lidah saya terlanjur terbiasa dengan kopi saset yang instan.

Betul, saya lebih sering meminum kopi instan dalam kemasan saset. Tidak setiap hari saya meminumnya. Akan tetapi selalu ada kopi instan sebagai persediaan jikalau tiba-tiba ingin menenggak kopi.

Murah, praktis, dan cocok dijadikan teman begadang. Sesederhana itu alasan saya memilih kopi instan saset. Dan sepertinya banyak pula orang yang punya alasan serupa. Buktinya kopi instan laris di mana-mana. Mereknya juga semakin beragam di pasaran.

Saya merasa baik-baik saja dengan kopi instan atau kopi saset. Sampai suatu hari seorang teman datang berkunjung dan melihat ada kopi instan di dalam kantung belanja saya. Rupanya itu menarik perhatiannya, "kamu, masih minum kopi instan?", tanyanya.

Tentu saja saya jawab apa adanya. Lalu ia pun menanggapinya secara agak panjang. Teman ini menyarankan saya agar berhenti meminum kopi instan karena tidak baik untuk kesehatan. Menurutnya kopi instan saset bukan kopi yang sebenarnya karena komposisinya tidak murni. Ia menyambung ceritanya soal nikmatnya kopi-kopi murni yang dihasilkan dari kebun dan disajikan di kedai-kedai kopi. Seraya menyuruh saya untuk berganti selera, ia mengatakan kalau meminum kopi murni berarti mendukung ekonomi petani dan pelaku UMKM kedai kopi.

Saya sepakat dengan yang pertama. Bahwa terlalu banyak minum kopi instan, terutama yang mengandung gula dan krimer, memang bisa mengganggu kesehatan. Oleh karena itu, tidak setiap hari saya meminum kopi ini.

Akan tetapi pada hal-hal lain yang ia sebutkan saya merasa ada yang keliru. Entah ini diskriminasi terhadap kopi instan yang murah harganya atau romantisasi terhadap budaya minum kopi di kedai-kedai yang semakin populer.

Memang secangkir kopi yang diracik oleh barista di kedai-kedai kopi selalu istimewa. Namun, kopi instan atau kopi saset juga tak kalah nikmat. Haruskah ada kasta di antara keduanya?

Sepertinya kopi instan dalam saset juga menggunakan bahan baku kopi dari kebun petani. Membeli kopi instan di warung juga berarti mendukung UMKM lokal.

Jasa dan peran kopi instan juga bukan main-main. Tidakkah kita sadari bahwa kopi instan merupakan "pembangkit tenaga" para pekerja proyek pembangun jalan, jembatan, pelabuhan, dan bandara? Orang-orang lapangan ini bisa sangat tabah menjalankan pekerjaan beratnya karena kopi instan.

Kopi instan juga ada di pos tempat para polisi, tentara, dan petugas lainnya bekerja melakukan penyekatan pemudik selama 24 jam demi menahan lonjakan serangan Corona. Pekerja  yang harus lembur, sopir bus dan angkutan umum, pedagang pasar, pengemudi ojek dan para penggerak ekonomi lainnya pun sering memperoleh semangat harian dari meminum kopi instan.

Oleh karena itu, agak aneh jika menganggap rendah kopi instan. Sebab nyatanya ada peran yang tidak ringan disumbangkan oleh kopi instan bagi kehidupan masyarakat dan bangsa selama ini. Agak aneh pula jika menempatkan peminum kopi instan pada kasta yang lebih rendah dibanding member kedai kopi.

Mestinya kalau kita sepakat bahwa kopi itu nikmat dan meminumnya memberi efek membahagiakan, tak perlu ada diskriminasi di dalamnya. Jika terjadi, maka nikmatnya kopi hanya mitos belaka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun