Semalam saya mencoba berpikir. Sampai akhirnya tiba pada sebuah perenungan bahwa kita mungkin sudah dikutuk. Indonesia dikutuk terutama untuk dua hal yang terus menerus menimpa bangsa dan seolah tidak bisa dihentikan.
Pertama soal bencana, khususnya banjir. Tidak terhitung seberapa sering banjir melanda negeri ini setiap tahunnya. Korban dan kerugiannya pun sudah tak ternilai. Bisa dikalkulasikan atau diperkirakan dalam rupiah, tapi nilai yang sebenarnya tak terhingga.
Memang bencana di negeri ini merupakan keniscayaan. Konsekuensi dari status yang disandang oleh negeri khatulistiwa bernama Indonesia ialah bencana alam. Dan banjir menjadi bencana yang paling sering diperdebatkan berulang-ulang.
Ironisnya, begitu banyak perdebatan dan diskusi soal banjir, ujung-ujungnya melahirkan tuduhan kepada alam. Banjir adalah bencana alam, maka yang harus disalahkan pertama-tama ialah alam. Begitulah yang sering kita dapati dari mulut para pemimpin, pejabat serta sebagian di antara kita.
Ambil contoh banjir besar yang merendam ibukota, mengepung Kalimantan, menenggalamkan pesisir utara Jawa Tengah, dan menerjang banyak daerah lainnya akhir-akhir ini. Tertuduh utamanya serba sama, ialah cuaca ekstrem.
Soal hutan yang gundul, pembangunan yang melampaui batas, eksploitasi ruang yang berlebihan boleh diabaikan. Atau paling-paling hanya dipandang menyumbang sedikit proporsi sebagai penyebab banjir.
Sikap kita yang menyalahkan cuaca setiap kali banjir melanda bukan hanya membuat kita selalu gagal menanganinya. Lebih dari itu membuat kita malas untuk menemukan solusinya.
Malah sebenarnya solusi itu sudah ada sejak lama. Akan tetapi kita tidak mau menempuh solusi itu. Sebab menjalankan solusi butuh pengorbanan, melelahkan, dan merepotkan. Sementara kita tidak mau repot. Lagipula sudah ada cuaca yang bisa disalahkan. Sudah ada pemanasan global yang bisa kita tuduh secara meyakinkan sebagai biang kerok bencana hidrometeorologi.
Ramalan cuaca ada supaya kita, misalnya, menyiapkan payung selagi beraktivitas agar saat hujan turun kita punya pelindung. Yang terjadi ialah jarang sekali kita bersiaga dengan payung. Ujung-ujungnya saat hujan turun dan kita tertahan karena harus berteduh, kita mengutuk hujan sebagai biang kerok atas tertundanya urusan kita.
Ramalan cuaca juga pembawa pesan bahwa kita mesti menyiapkan ember-ember yang lebih banyak dan besar untuk mengantisipasi jikalau atap rumah ada yang bocor. Dengan demikian air tak akan membasahi banyak tempat di dalam ruangan.