Satu kantung daging kambing dihantar kepada kami sekitar pukul 10.00 Jumat (31/7/2020) kemarin. Agak kaget saya mengetahui hantaran sepagi itu.
Akan tetapi memang tergolong cepat penyembelihan hewan kurban di tempat tinggal kami pada Idul Adha tahun ini. Karena lokasi penyembelihannya tak terlalu jauh, saya bisa mengetahui kegiatan penyembelihan sudah dimulai sejak pukul 08.00.
Tak heran jika pembagian dagingnya pun bisa dilakukan lebih cepat. Semua warga, termasuk yang berkurban, mendapatkan bagian masing-masing. Sependek pengamatan saya ada seekor sapi dan beberapa ekor kambing yang disembelih dan dibagikan pagi itu.
Seperti tahun-tahun sebelumnya saat mendapatkan daging hewan kurban, terutama kambing, yang pertama terlintas di pikiran ialah mengolahnya menjadi sate. Selain cepat dan mudah membuatnya, peralatannya pun tersedia. Sate menurut saya juga yang paling tidak membosankan rasanya dibanding olahan daging lainnya.
Kemarin begitu sadar tak memiliki arang, saya segera menuju ke warung terdekat. Di sana biasanya tersedia arang. Namun, saya datang terlambat. Arang-arang itu sudah habis terjual. Beberapa orang yang lebih dulu datang telah membawanya pulang ke rumah masing-masing.
Ternyata selalu banyak orang yang berpikiran sama. Bahwa sate kambing merupakan olahan favorit di hari raya Idul Adha sehingga arang pun mendadak laris di mana-mana.
Tak ada arang, wajan pun jadi. Ide lain langsung muncul menggantikan keinginan untuk menikmati sate yang tertunda. Nasi goreng kambing saya rasa juga pilihan yang berselera. Kebetulan sudah agak lama saya tidak menyantap nasi goreng.
Alat membakar sate yang telah saya bersihkan kembali saya kemas. Tusuk-tusuk bambu yang sedang dijemur setelah dicuci saya masukkan kembali ke wadah. Sebagai gantinya saya siapkan ulekan, wajan, dan papan teflon.
Selanjutnya membuka kulkas untuk mencari beberapa bahan. Saya dapatkan cabe merah, cabe rawit, bawang merah, bawang putih dan tomat. Tinggal memastikan bumbu lainnya yang saya pikir sudah cukup dengan bubuk merica dan garam.
Semua persiapan awal selesai. Namun, saya tidak segera memasak nasi goreng. Saya memilih untuk mendiamkan selama satu jam potongan daging kambing itu dengan memberi sedikit tambahan perasan lemon dan membungkusnya menggunakan daun pepaya agar daging menjadi lebih empuk dan berkurang baunya.
Untungnya tetangga ada yang menanam pepaya yang daunnya boleh diminta beberapa helai. Di belakang rumah sebenarnya juga ada pohon pepaya. Hanya saja batangnya terlampau tinggi dan saya tak menemukan bilah yang cukup panjang untuk mengambil daunnya.
Sambil mendinginkan nasi yang baru diangkat dari rice cooker, saya memasak lebih dulu daging kambingnya di atas papan teflon. Sedikit taburan bubuk merica dan kecap manis ditambahkan agar dagingnya punya rasa. Prosesnya cepat saja karena nanti pun daging ini akan dimasak bersama nasi.
Setelah daging siap, tibalah babak utama memasak nasi goreng. Ke dalam wajan dengan sedikit minyak saya tumis bumbu yang telah diulek. Kemudian memasukkan nasi. Karena porsinya tidak terlalu banyak saya tidak kesulitan mengaduk nasinya sampai tercampur merata bersama bumbunya. Berikutnya tinggal menambahkan daging kambing. Tak lupa sedikit merica dan garam sambil dicicipi rasanya.
Bagaimana dengan kecap manis? Sejujurnya saya kurang berselera dengan kecap manis di dalam nasi goreng. Biasanya kalau membeli di luar saya suka memesan kepada penjualnya dengan catatan "kecapnya sedikit". Kali ini saya pun hanya menambahkan sedikit kecap manis dengan harapan rasa nasi gorengnya menjadi lebih semarak di lidah.
Tiba waktunya bersantap. Perut yang sudah meminta jatah makan siang bertemu dengan nasi goreng kambing. Soal rasa sudah pasti lidah bilang enak. Mana mungkin saya protes dengan masakan sendiri.