Mohon tunggu...
Hendra Wardhana
Hendra Wardhana Mohon Tunggu... Administrasi - soulmateKAHITNA

Anggrek Indonesia & KAHITNA | Kompasiana Award 2014 Kategori Berita | www.hendrawardhana.com | wardhana.hendra@yahoo.com | @_hendrawardhana

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Kompasiana, Nasib Jurnalisme Warga dalam Gempuran Obsesi Popularitas

3 Desember 2019   08:38 Diperbarui: 5 Desember 2019   08:22 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kompasiana Freez (dok. pri)

Tulisan ini sebenarnya bagian dari artikel yang saya tayangkan pada pertengahan Oktober lalu di blog pribadi. Sekarang saya menuliskan ulang di sini. Pertimbangannya paling tidak agar kita bisa memiliki satu perhatian khusus tentang Kompasiana. 

Bukan untuk bersepakat, tapi setidaknya mencoba sejenak merenungkan atau meletakkan perhatian pada sejumlah hal yang sama.

Beberapa hal telah sering diutarakan oleh sejumlah kompasianer. Namun, saya mencoba merumuskannya lagi dengan menambahkan pandangan pribadi. Demi efektivitas, hanya beberapa poin yang saya utarakan di sini. Meski demikian gagasan utamanya tidak bergeser.

Kita Mulai

Setelah 11 tahun dan sekarang sedang mulai menapaki angka yang ke-12, Kompasiana tentu berbeda dengan Kompasiana yang dulu. 

Semangat besarnya tidak berubah, yaitu menginspirasi dan menyemai semangat menebar kebaikan lewat aktivitas blogging. Namun, ada pendekatan baru yang diusung. Itu tercermin dari slogan "Beyond Blogging", bentuk pemutakhiran dari "Sharing and Connecting".

Sayangnya hampir bersamaan dirasakan pula pudarnya sebagian warna khas Kompasiana, yakni jurnalisme warga. Memang sejak dulu Kompasiana tidak pernah mendeklarasikan diri secara khusus sebagai media jurnalisme warga. Kompasiana adalah blog sosial dengan aneka rupa artikel ditampung di dalamnya. 

Namun, kenyataan tak bisa dibantah bahwa jurnalisme warga pernah menjadi sangat kental warnanya di Kompasiana sehingga ada periode ketika Kompasiana memberi treatment khusus pada reportase khas warga. Kompasiana Freez, Kompasiana TV, rubrik Berita di kompasiana.com, serta Kompasiana Award kategori Citizen Journalism memperlihatkan bagaimana jurnalisme warga mendapatkan ruang khusus di Kompasiana. 

Kecuali Kompasiana Award, tiga yang disebutkan pertama sejak beberapa tahun lalu telah ditiadakan. 

Bisa diperdebatkan apakah itu mengindikasikan telah bergesernya pandangan Kompasiana terhadap jurnalisme warga atau jurnalisme warga itu sendiri sudah menurun intensitasnya secara alami seiring gairah dan ketertarikan kompasianer pada hal lain. 

Jurnalisme Warga vs Popularitas

Entah kapan persisnya jurnalisme warga mulai berkurang kekentalannya di Kompasiana. Apakah seiring mundurnya beberapa kompasianer lama? Sepertinya bukan karena kompasianer-kompasianer baru terus berdatangan dan banyak di antara mereka merupakan penyaji artikel-artikel yang baik.

Akan tetapi sejak 2016 menjadi terlihat bagaimana Kompasiana sangat terobsesi pada pencapaian jumlah pengunjung dan popularitas. Pandangan ini bisa saja keliru, tapi beberapa indikator memperlihatkan kecenderungan obsesi tersebut.

Ada kalanya Kompasiana mudah mengobral artikel pilihan dan artikel utama (headline), terutama dari kategori politik dan olahraga yang memang sering sukses menarik banyak pembaca untuk berkerumun. 

Tentu bukan masalah jika artikel-artikel tersebut memiliki keunggulan atau keutamaan yang bisa ditempatkan sebagai headline dan dipadankan dengan artikel-artikel utama lainnya. 

Tapi beberapa kejadian menimbulkan keresahan ketika Kompasiana terlalu mudah mengangkat artikel yang isinya lemah, kalau tidak boleh dikatakan sekadar pengulangan atas pengetahuan umum dari berita di media massa. 

Jadi apa kebaharuan atau keistimewaannya? Hal tersebut kerap berulang sehingga kesan adanya obral tak bisa dihindari. 

Barangkali Kompasiana perlu selangkah lebih cepat dalam mengikuti perkembangan terkini dari sumber yang lebih utama. Ini agar lebih teliti dalam menilai artikel yang masuk dan yang terpenting tidak terlalu gampang mengangkat artikel yang isi serta aktualitas sudah tertinggal.

Pantas dipertanyakan ketika Kompasiana mengangkat artikel tentang perempat final pada saat babak semifinal sudah diketahui hasilnya dan final sedang menunggu. 

Terlalu mudah bagi Kompasiana untuk mengunggulkan artikel yang sekadar menyinggung peluang juara para atlet ketika babak pertama baru dimulai. Tentu saja atlet-atlet yang mengikuti pertandingan apa pun akan selalu memiliki peluang untuk menang atau jadi juara. 

Penting pula untuk selalu konsisten pada pedoman dalam menilai artikel pertama-tama berdasarkan isinya, bukan pada penulisnya. Perlu saringan yang lebih selektif untuk menyeleksi kelompok artikel yang kelewat populer sehingga mungkin banyak terserak di tempat lain.

Slogan lama Kompasiana Freez (dok. pri).
Slogan lama Kompasiana Freez (dok. pri).

Mudahnya artikel, misalnya politik dan olahraga, naik menjadi headline pada akhirnya membangkitkan pragmatisme. Kompasianer akan berpandangan bahwa lebih bermakna dan menguntungkan baginya jika berceloteh tentang topik-topik pop.

Memang itu tidak sepenuhnya salah karena pilihan ada di tangan kompasianer dan Kompasiana memfasilitasinya. Akan tetapi ketika banyak yang memusatkan obsesi pada topik yang seksi, maka kecenderungan produksi artikel-artikel yang kurang berisi menjadi meningkat. Inilah yang mesti perlu disaring dengan saringan yang lebih rapat.

Ada slogan lama Kompasiana Frezz yang berbunyi "Esensi, Bukan Sensasi". Apakah slogan itu perlu dihidupkan atau diperkenalkan kembali?

Dorongan pragmatisme, mudahnya kelompok artikel tertentu naik ke halaman utama, serta obsesi pada tingkat keterbacaan yang tinggi, menurut saya telah ikut andil dalam pudarnya warna jurnalisme warga Kompasiana. 

Dominasi artikel-artikel dari topik tertentu di satu sisi menggambarkan selera pembaca Kompasiana saat ini. Namun, di sisi lain dengan sendirinya menggeser artikel-artikel menarik lainnya. 

Beberapa kali dijumpai artikel-artikel yang baik kurang mendapatkan ekspos. Kadang berselang dua atau tiga hari kemudian artikel itu baru naik menjadi pilihan atau artikel utama. 

Bisa dipahami Kompasiana secara tidak sengaja melewatkan beberapa artikel karena banyaknya unggahan yang perlu dimoderasi setiap hari. Namun, bisa pula dipertanyakan tentang kesan mengalokasikan waktu pagi hingga sore untuk artikel-artikel utama dari topik yang populer, sementara artikel-artikel lain yang dianggap kurang seksi ditempatkan pada antrean sebagai calon artikel utama untuk malam hari.

Pembagian waktu dan antrean seperti demikian jika benar adanya tentu perlu ditinjau kembali. Bagi saya artikel-artikel yang baik dan menarik meskipun topiknya tidak terlalu seksi tetap perlu mendapatkan antrean di depan jika memang artikel itu tayang lebih awal. Ini penting agar setiap artikel mendapatkan perhatian dan kesempatan terbaca secara lebih adil.

Kemudian soal kebijakan membagi artikel ke dalam nomor-nomor halaman. Saya termasuk yang kurang nyaman dengan sistem multiple page yang berlebihan. Bukan tidak setuju, tapi artikel yang pendek mestinya tidak perlu dipaksakan untuk dicacah halamannya. Keharusan berungkali meng-klik justru meningkatkan kemungkinan pembaca meninggalkan bacaannya sebelum tiba pada nomor halaman terakhir.

Bisa dipahami kebutuhan Kompasiana pada tingkat keterbacaan dan popularitas artikel. Bagaimana pun juga sebagai entitas bisnis konten, tingkat kunjungan dan keterbacaan memang sangat penting. Namun, bagaimana kebutuhan tersebut tidak mengorbankan terlalu jauh keunggulan yang sudah ada menjadi tantangan yang perlu digarisbawahi oleh Kompasiana.

Makna Rewards

Semua uraian di atas tentu punya kecenderungan subyektif yang perlu diuji lagi. Namun, saya lebih dari percaya bahwa Kompasiana selalu memberi perhatian dan mencatat kritik-kritik dari Kompasianer. 

Lagipula selama ini Kompasiana bersedia mendengar, menerima, dan merespon kritik. Ini hal baik yang perlu disyukuri. Meski perlu diterima pula bahwa Kompasiana tidak harus mengikuti semua "nasihat dan keinginan" Kompasianer.

Kompasiana telah membuka diri sebagai media kolaborasi. Sebisa mungkin ini perlu dibalas dengan seisi jiwa oleh kompasianer. Ada ruang dan kesempatan bagi kompasianer untuk ikut membangun Kompasiana dengan memberikan masukan sepanjang waktu. 

Salah satu bukti Kompasiana mau menjadikan masukan dan kritik sebagai pijakan untuk berinovasi sekaligus melakukan perbaikan adalah dalam hal K-Rewards. Kompasiana memperbaharui aturan mainnya dengan berbagai pertimbangan, salah satunya setelah mendengar kritik dan masukan dari kompasianer.

Kompasiana (dok. pri).
Kompasiana (dok. pri).

Fenomena K-Rewards memang menarik sehingga perlu dicermati secara mendalam. Inovasi ini dilandasi kebaikan dan memang bisa memberi kebaikan, tapi bisa jadi bumerang bagi Kompasiana mengingat mulai berkembang kecenderungan kompasianer menganggap bahwa rewards adalah hak dan Kompasiana wajib memberikan rewards apa pun keadaannya.

Barangkali ini semacam gejala awal kecanduan. Selain bisa melambungkan pragmatisme yang berdampak pada kualitas konten, juga berpotensi memunculkan pergeseran persepsi tentang prinsip menulis di Kompasiana. 

Semoga tidak marak pandangan di kemudian hari bahwa menulis di Kompasiana harus dibayar, kecuali jika Kompasiana memang menghendaki itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun