Mohon tunggu...
Hendra Wardhana
Hendra Wardhana Mohon Tunggu... Administrasi - soulmateKAHITNA

Anggrek Indonesia & KAHITNA | Kompasiana Award 2014 Kategori Berita | www.hendrawardhana.com | wardhana.hendra@yahoo.com | @_hendrawardhana

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Kompasiana, Nasib Jurnalisme Warga dalam Gempuran Obsesi Popularitas

3 Desember 2019   08:38 Diperbarui: 5 Desember 2019   08:22 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kompasiana Freez (dok. pri)

Ada slogan lama Kompasiana Frezz yang berbunyi "Esensi, Bukan Sensasi". Apakah slogan itu perlu dihidupkan atau diperkenalkan kembali?

Dorongan pragmatisme, mudahnya kelompok artikel tertentu naik ke halaman utama, serta obsesi pada tingkat keterbacaan yang tinggi, menurut saya telah ikut andil dalam pudarnya warna jurnalisme warga Kompasiana. 

Dominasi artikel-artikel dari topik tertentu di satu sisi menggambarkan selera pembaca Kompasiana saat ini. Namun, di sisi lain dengan sendirinya menggeser artikel-artikel menarik lainnya. 

Beberapa kali dijumpai artikel-artikel yang baik kurang mendapatkan ekspos. Kadang berselang dua atau tiga hari kemudian artikel itu baru naik menjadi pilihan atau artikel utama. 

Bisa dipahami Kompasiana secara tidak sengaja melewatkan beberapa artikel karena banyaknya unggahan yang perlu dimoderasi setiap hari. Namun, bisa pula dipertanyakan tentang kesan mengalokasikan waktu pagi hingga sore untuk artikel-artikel utama dari topik yang populer, sementara artikel-artikel lain yang dianggap kurang seksi ditempatkan pada antrean sebagai calon artikel utama untuk malam hari.

Pembagian waktu dan antrean seperti demikian jika benar adanya tentu perlu ditinjau kembali. Bagi saya artikel-artikel yang baik dan menarik meskipun topiknya tidak terlalu seksi tetap perlu mendapatkan antrean di depan jika memang artikel itu tayang lebih awal. Ini penting agar setiap artikel mendapatkan perhatian dan kesempatan terbaca secara lebih adil.

Kemudian soal kebijakan membagi artikel ke dalam nomor-nomor halaman. Saya termasuk yang kurang nyaman dengan sistem multiple page yang berlebihan. Bukan tidak setuju, tapi artikel yang pendek mestinya tidak perlu dipaksakan untuk dicacah halamannya. Keharusan berungkali meng-klik justru meningkatkan kemungkinan pembaca meninggalkan bacaannya sebelum tiba pada nomor halaman terakhir.

Bisa dipahami kebutuhan Kompasiana pada tingkat keterbacaan dan popularitas artikel. Bagaimana pun juga sebagai entitas bisnis konten, tingkat kunjungan dan keterbacaan memang sangat penting. Namun, bagaimana kebutuhan tersebut tidak mengorbankan terlalu jauh keunggulan yang sudah ada menjadi tantangan yang perlu digarisbawahi oleh Kompasiana.

Makna Rewards

Semua uraian di atas tentu punya kecenderungan subyektif yang perlu diuji lagi. Namun, saya lebih dari percaya bahwa Kompasiana selalu memberi perhatian dan mencatat kritik-kritik dari Kompasianer. 

Lagipula selama ini Kompasiana bersedia mendengar, menerima, dan merespon kritik. Ini hal baik yang perlu disyukuri. Meski perlu diterima pula bahwa Kompasiana tidak harus mengikuti semua "nasihat dan keinginan" Kompasianer.

Kompasiana telah membuka diri sebagai media kolaborasi. Sebisa mungkin ini perlu dibalas dengan seisi jiwa oleh kompasianer. Ada ruang dan kesempatan bagi kompasianer untuk ikut membangun Kompasiana dengan memberikan masukan sepanjang waktu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun