Mohon tunggu...
Hendra Wardhana
Hendra Wardhana Mohon Tunggu... Administrasi - soulmateKAHITNA

Anggrek Indonesia & KAHITNA | Kompasiana Award 2014 Kategori Berita | www.hendrawardhana.com | wardhana.hendra@yahoo.com | @_hendrawardhana

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Nestapa NET TV karena Azab atau Revolusi?

14 Agustus 2019   09:24 Diperbarui: 14 Agustus 2019   18:00 21250
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Akun Instagram NET TV (dok. pri).

Krisis yang menimpa NET TV sepertinya belum akan berakhir dalam waktu dekat. NET memang telah membantah adanya rencana PHK karyawan secara besar-besaran. Akan tetapi dengan melakukan efisiensi dan memberikan opsi tawaran bagi karyawannya untuk mengundurkan diri secara sukarela pada dasarnya merupakan sebuah pengakuan tentang adanya masalah serius yang dihadapi televisi muda ini.

Saya tertarik berkomentar mengingat tiga hal. Pertama, saya seperti halnya penonton TV yang menyukai beberapa program acara NET. Sebut saja Tonight Show, Music Everywhere, 86, dan acara berita olahraga yang dulu sempat menghiasi siaran NET di tengah malam.

Secara subjektif saya menyukai NET juga karena TV ini sering menampilkan KAHITNA dalam acara-acara yang spesial. Maka jika NET sampai "pamit", saya pun akan kehilangan beberapa tontonan di atas.

Kedua, saya punya "kenangan" khusus dengan NET yang masih berkesan hingga sekarang. Saya pernah berurusan dengan NET ketika TV ini belum lama hadir di layar kaca. Pada Oktober 2013 NET melakukan pelanggaran hak cipta dengan menggunakan konten/karya milik saya tanpa izin dalam sebuah program acaranya.

Saat itu permasalahannya sempat ramai di Twitter, Kompasiana, hingga ke Kaskus. Saya mendapat informasi bahwa Wishnutama segera mengetahuinya dan ia marah besar atas kelalaian tim produksi NET. Lebih jelas mengenai permasalahan yang saya maksud bisa dibaca di Kompasiana melalui tautan di sini.

Singkat cerita permasalahan tersebut selesai pada November 2013. NET mengakui kesalahannya.

Memang saat itu NET melalui perwakilannya mengatakan tidak bisa memenuhi permintaan saya agar NET meminta maaf dan mengakui kesalahan melalui media sosial. NET khawatir pernyataan maaf secara terbuka akan mempengaruhi citra mereka di mata publik karena pada saat itu sebagai TV baru NET sedang menyita perhatian banyak penonton Indonesia.

Saya sempat terkejut mendengar alasan NET karena bagi saya pernyataan secara terbuka sewajarnya dilakukan mengingat NET menggunakan karya saya untuk tayangan yang disiarkan secara langsung dan ditonton oleh banyak orang. Meski demikian saya tetap lega dan bersyukur karena NET mengakui kesalahannya dan menyampaikan penyesalan secara mendalam.

Pemimpin redaksi NET yang beberapa kali menghubungi saya lewat telepon dan SMS juga saya apresiasi sebagai bentuk keseriusan. Setidaknya itu memperlihatkan bahwa TV ini memiliki tanggung jawab dan kesadaran untuk menghargai orang lain sehingga permasalahan bisa diselesaikan secara lebih baik. Perihal jalanannya penyelesaian masalah tersebut bisa dibaca di sini.

Alasan ketiga mengapa saya tertarik mengomentari krisis NET adalah karena saya merupakan bagian dari kelompok atau segmen penonton yang jarang menonton TV. Kelompok yang dalam beberapa analisis dan pendapat disebut ikut andil dalam menimbulkan krisis NET. Alasan inilah yang paling menggelitik.

Televisi Masa Kini vs Penonton Masa Kini

Jika kita ingat pada awal kemunculannya dulu NET TV memasang slogan "Revolusi Media". Slogan tersebut bukan hanya pemanis. NET terlihat sungguh-sungguh menjadikan "revolusi" sebagai perlawanan dan upaya mendobrak arus utama acara TV Indonesia yang tampak seragam dan kurang bermutu. Istilah anak zaman sekarang "kurang mendidik" atau "acara-acara alay".

Kemunculan NET disertai ambisi merevolusi wajah TV Indonesia dengan cara merevolusi konten. Sebuah misi mulia yang begitu tinggi. 

Oleh karena itu, dibanding menayangkan infotainment berisi gosip dan pergunjingan kabar buruk, NET menyodorkan infontainment yang berisi kabar baik. Program berita pagi yang biasanya serius, dikemas oleh NET sebagai tayangan informasi yang lebih interaktif dan menghibur. Bukannya menayangkan sinetron dan FTV, NET memilih tayangan-tayangan lain yang diproduksi sendiri.

Tayangan-tayangan in house production seperti yang NET hadirkan selama ini tentu saja menguras banyak biaya, tenaga, serta berisiko menimbulkan inefisiensi. Konten-konten bernuansa gaya hidup urban yang diadaptasi dari acara TV di luar negeri pada awalnya juga tidak terlalu familiar bagi banyak penonton Indonesia. Namun, demi sebuah misi "revolusi" NET melakoninya.

Sampai pada titik ini terlihat NET paham bahwa "revolusi" memang harus dijalankan penuh totalitas. Tidak ada kata "setengah-setengah" dalam menggerakkan arus revolusi, termasuk revolusi media.

NET kemudian mengganti slogannya menjadi "Televisi Masa Kini". Slogan baru ini masih berkesinambungan dengan "Revolusi Media". Maknanya NET hendak menawarkan wajah baru TV Indonesia melalui konten, acara, dan program yang lebih banyak memberi dampak dan manfaat kebaikan bagi masyarakat. 

NET TV (dok. pri).
NET TV (dok. pri).
NET dengan slogan "Televisi Masa Kini" juga hendak memikat hati dan memeluk banyak "Penonton Masa Kini", yakni penonton generasi internet, generasi milenial atau apapun namanya yang merupakan penonton generasi baru yang berbeda dari para orang tua mereka. Sekilas ini akan berjalan mulus karena stasiun TV yang idealistik bertemu dengan kelompok penonton yang penuh idealisme.

Namun, "Penonton Masa Kini" ternyata melihat TV tidak dengan cara yang biasa. Jika para orang tua menjadikan TV sebagai media yang penuh makna, maka "Penonton Masa Kini" telah menemukan media baru bernama internet dan youtube.

Jika para orang tua mengonsumsi acara TV secara penuh beserta seluruh iklannya, "Penonton Masa Kini" senang berpindah-pindah saluran TV demi menghindari iklan. 

Penonton generasi baru ini mungkin bisa dikatakan sebagai kelompok yang tidak sepenuhnya setia. Jika saya menikmati program NET, bukan berarti saya ingin menontonnya dari awal hingga selesai. Saya memang menyukai NET, tapi bukan berarti saya menonton banyak acara NET dalam waktu yang lama. Kenyataannya saya hanya duduk di depan TV kurang dari 20 jam dalam seminggu.

Selain itu definisi menonton TV bagi "Penonton Masa Kini" sudah sangat berbeda dengan kegiatan menonton TV sambil minum teh yang dilakukan oleh para orang tua. Para "Penonton Masa Kini" hanya memilih sedikit acara dan bahkan paling ekstrem hanya memilih segmen tertentu dari seluruh rangkaian acara utuh yang ditayangkan oleh stasiun TV. 

Jika itu tidak didapatkan, mereka akan dengan senang beralih ke Youtube dan media sosial. Toh, stasiun TV juga sudah hadir di Youtube dan mengunggah acara-acara unggulannya ke Youtube.

Dari sinilah permasalahan timbul. Gairah "Televisi Masa Kini" yang diusung oleh NET mungkin luput memperhitungkan secara lebih cermat perilaku "Penonton Masa Kini". 

Meski demikian, bukan berarti krisis yang menimpa NET disebabkan oleh ketidaksetiaan "Penonton Masa Kini". Tidak ada alasan untuk menjadikan penonton sebagai "tersangka" atas krisis yang menimpa sebuah TV. Lagipula "Penonton Masa Kini" berlaku sama pada semua TV.

Gara-gara Azab?

NET memang banyak dipuja oleh masyarakat, terutama generasi milenial. Namun, hal itu tak cukup membantu. Bagaimana pun "kehadiran" penonton secara nyata di depan layar TV masih sangat menentukan nasib sebuah stasiun TV. Sementara acara-acara NET yang oleh banyak orang disebut sebagai acara bermutu ternyata tidak terlalu mendatangkan banyak penonton.

Dari sekian banyak tanggapan dan pendapat yang muncul terutama di media sosial terkait krisis NET, tidak sedikit yang berpendapat bahwa NET butuh "acara alay" agar penontonnya bertambah. Bahkan, NET perlu menayangkan FTV "Azab" supaya rating acaranya terdongkrak. 

Baik dimaksudkan sebagai satir maupun pendapat yang serius, pernyataan semacam itu hampir mendekati arti bahwa krisis atau kesulitan keuangan NET yang disebabkan karena rating dan iklan yang kecil, dipicu gara-gara tidak ada FTV "Azab" di layar NET.

Padahal, tidak ada jaminan jika NET menghadirkan tayangan serupa "Azab" maka akan terjadi migrasi banyak penonton ke layar NET. Sejauh mana tayangan "Azab" NET akan bisa bersaing dengan sinetron dari TV-TV lain yang lebih mapan masih tanda tanya. 

Selama NET masih menjadikan "Televisi Masa Kini" sebagai keyakinannya untuk bertarung di industri TV tanah air dan selama "Penonton Masa Kini" masih menjadi kiblat revolusi media, tayangan "Azab" tidak akan banyak berpengaruh.

Apa yang dialami NET lebih merupakan konsekuensi dan risiko dari sebuah upaya penaklukan yang dikehendaki sendiri oleh NET. Ada jalinan yang tidak mulus antara gairah "Televisi Masa Kini" dengan sikap "Penonton Masa Kini". Itulah kenyataan sulit yang harus dihadapi oleh NET.

Jika nantinya tayangan "Azab" atau "acara alay" menghiasi layar NET TV dan berhasil meraih rating tinggi, bukan berarti "Penonton Masa Kini" telah sudi menonton TV lebih lama dan berubah seleranya. Hal itu lebih menunjukkan bahwa NET tidak lagi berambisi memeluk "Penonton Masa Kini". 

Indikasinya sudah terlihat sekarang. NET meng-upgrade slogannya dengan "Nonton TV Asyiknya di NET". Ini bisa diartikan sebuah ajakan yang lebih agresif kepada masyarakat untuk lebih sering menonton acara-acara NET. 

Namun, kata "Asyik" juga semacam isyarat bahwa NET segera mengubah haluan, meski mungkin tidak terlalu radikal. NET memilih untuk tidak terlalu keras lagi menjadi "Televisi Masa Kini".

Revolusi adalah sebuah perubahan sekaligus pertarungan dan pertaruhan. NET telah merasakan bahwa revolusi yang digerakkannya beberapa tahun lalu ternyata merupakan pertarungan yang keras dan pertaruhan yang sangat besar. Lebih jauh lagi dalam sebuah revolusi, seringkali pihak yang paling mengalami nestapa justru sang penggerak revolusi itu sendiri. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun