Mohon tunggu...
Hendra Wardhana
Hendra Wardhana Mohon Tunggu... Administrasi - soulmateKAHITNA

Anggrek Indonesia & KAHITNA | Kompasiana Award 2014 Kategori Berita | www.hendrawardhana.com | wardhana.hendra@yahoo.com | @_hendrawardhana

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Agar Mbah Marto Tak Menjadi Petani Terakhir di Negeri Ini

22 Mei 2019   19:08 Diperbarui: 22 Mei 2019   19:28 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mbah Marto bersepeda dari sawahnya di Wedi, Klaten, Jawa Tengah (dok. pri).

Hamparan sawah terbentang persis di depan rumah kakek di Wedi, Klaten, Jawa Tengah. Sawah-sawah itu menjadi pemandangan pertama yang terlihat saat pintu dan jendela rumah kakek terbuka pada pagi hari.

Saya sangat senang berjalan-jalan ke sawah-sawah itu. Sepanjang itu pula sering saya berjumpa dengan para petani saat mereka menuju sawah atau saat kaki-kaki mereka telah tenggelam dalam tanah becek. Kebanyakan dari mereka merupakan generasi tua. Kalau pun belum bisa dipanggil kakek atau nenek, usia mereka umumnya sudah di atas empat puluh tahun.

Salah satu petani itu bernama Mbah Marto. Ia tetangga dekat kakek. Saya beberapa kali bertemu dengannya, baik di sawah maupun saat ia melintas di depan rumah kakek dengan sepeda tuanya.

Walau sudah berusia 77 tahun, Mbah Marto masih pergi ke sawah setiap hari. Dengan telaten ia menggarap sawahnya seorang diri. Mbah Marto sebenarnya memiliki tiga orang anak, dua di antaranya laki-laki. Namun, tak ada satupun yang mau meneruskan usaha mengolah sawah.

Penuaan Petani

Tak menarik. Barangkali itulah yang ada di benak anak-anak mbah Marto dan anak muda pada umumnya saat ini tentang bertani. Bergulat dengan sawah dan tanah becek sama sekali bukan pilihan utama. Bertani dianggap membutuhkan banyak modal, apalagi bila tak punya lahan sendiri. Sementara penghasilannya kurang menjanjikan. 

Generasi muda pun lebih memilih mencari penghasilan di sektor usaha lain. Bagi mereka menjadi karyawan atau buruh pabrik lebih rasional dibanding harus menjadi petani.

Akibatnya regenerasi petani berjalan sangat lambat. Jumlah petani di Indonesia pun terus berkurang. Survey Badan Pusat Statistik (BPS) pada Agustus 2018 menemukan terjadinya penurunan jumlah pekerja di sektor pertanian sebesar 0,89% dibanding periode tahun sebelumnya. 

Sementara menurut data Sensus Pertanian 2013, petani Indonesia didominasi kelompok usia 40-54 tahun dengan proporsi 41%. Proporsi terbesar kedua adalah kelompok petani usia 55-64 tahun yaitu 27%.

Mbah Marto meratakan tanah di sawahnya yang telah diairi. Di usianya yang senja Mbah Marto masih menjadi petani (dok. pri).
Mbah Marto meratakan tanah di sawahnya yang telah diairi. Di usianya yang senja Mbah Marto masih menjadi petani (dok. pri).
Fenomena penuaan petani dan dominasi petani generasi tua seperti Mbah Marto pertanian Indonesia lamban bergerak maju dan sulit melakukan perubahan besar. Pada saat bersamaan sumber daya pertanian lainnya seperti sawah dan lahan subur terus menyusut. Oleh karena itu, kita membutuhkan sumber daya baru, cara-cara baru dan tenaga-tenaga baru.

Benteng Kedaulatan Pangan

Di sinilah pentingnya mempercepat regenerasi petani. Para petani baru perlu dilahirkan. Pertama-tama agar pertanian Indonesia bisa terus tumbuh dan meningkat produktivitasnya seiring bertambahnya kebutuhan pangan serta jumlah penduduk. 

Kedua, bila kita bicara tentang pertanian di masa depan yang ditopang revolusi industri 4.0, maka komponen penting yang mesti dipenuhi adalah hadirnya petani-petani muda. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun