"Rajawali Indonesia kok gitu sih? Ya sudah daripada marah-marah kalian lebih baik nyanyi bareng ya!", ucap penyanyi Tompi di sela-sela penampilannya pada hari ke-3 Prambanan Jazz 2017, Minggu (20/8/2017) malam.Â
Pernyataan Tompi yang merespon keluhan penonton tersebut memang disampaikan dengan gaya bercanda. Tapi hal itu mewakili ketidaknyamanan banyak orang terhadap Prambanan Jazz, terutama pada hari ke-3. Festival musik yang diselenggarakan oleh Rajawali Indonesia ini memang menyisakan impresi yang kurang baik.
Kekecewaan Artis
Prambanan Jazz 2017 yang digelar dari 18-20 Agustus sebenarnya cukup menarik dan meriah. Ribuan penonton datang dengan berbagai alasan. Ada yang secara spesifik ingin menyaksikan artis-artis tertentu yang diidolakan. Tapi banyak juga yang ingin menikmati ragam karya musik yang dibawakan oleh semua artis.
Maklum saja, line up artis serta musisi yang diundang adalah nama-nama besar di panggung musik Indonesia ditambah beberapa artis mancanegara. Venue yang berada di kompleks Candi Prambanan juga menjadi daya pikat yang menawarkan pengalaman berbeda menyaksikan festival musik.
Melalui posting di instagram pribadinya, Afgan menyampaikan kegeraman terhadap penyelenggara Prambanan Jazz. Ia termasuk para penonton yang menunggu penampilannya memang pantas kecewa. Ketidaktepatan waktu penyelenggaraan membuatnya harus menunggu hingga pukul 22.00. Ironisnya panitia penyelenggara ternyata diketahui memintanya untuk tidak tampil karena akan ada penyanyi mancananegara di panggung berikutnya.
Afgan menolak hal itu. Demi penonton dan penggemarnya yang sudah lama menunggu ia tetap naik pentas meski awalnya tanpa dukungan sound. Rangkaian impresi buruk berlanjut karena di tengah penampilan lampu panggung tiba-tiba dimatikan. Afgan merasa diusir dari panggung.
Afgan menyebut insiden ini sebagai pengalaman buruk yang baru pertama kali ia alami. Selain menyayangkan soal ketidaktepatan waktu, Afgan juga kecewa karena penyelenggaran terkesan kurang menghargai penyanyi lokal demi pentas artis mancanegara.Â
Saya yang datang pukul 15.00 segera menangkap kesan tidak beres saat menjumpai panggung masih senyap dan ribuan penonton menunggu sambil duduk serta berdiri di sekitar Britama Space.
Ketidaktepatan waktu berdampak yang buruk. Durasi pentas artis-artis yang tampil pada hari ketiga seperti NDX, Hivi, Stars & Rabbit, Payung Teduh, Tompi, Syaharani, Sandhy Sondoro, Yovie & Nuno, Glenn Fredly hingga KAHITNA, berkurang hingga separuh. Kebanyakan dari mereka terpaksa undur diri pada lagu kelima atau keenam, padahal semestinya bisa membawakan lebih banyak lagu. Pertunjukkan yang tidak tepat waktu juga menimbulkan overlapping penampilan artis dari dua panggung yang semestinya digelar bergantian.
Yovie Widianto, saat mengiringi Yovie & Nuno beraksi, menyampaikan dengan gaya diplomatis bahwa Yovie & Nuno tidak perlu tampil lama karena masih ada KAHITNA dan Glenn Fredly. Malam itu Yovie & Nuno hanya sempat membawakan sekitar enam lagu.
Sebelumnya grup NDX yang sudah dinanti oleh banyak penggemar mudanya hanya sempat bernyanyi tiga hingga empat lagu. Atas hal itu, NDX bahkan sempat menyampaikan kekesalannya di atas panggung karena diminta tampil singkat.
Sebenarnya bukan kali ini saja Prambanan Jazz diwarnai masalah. Pada gelaran edisi sebelumnya ketidaktepatan waktu bahkan membuat KAHITNA harus menunggu hingga pukul 02.00 dini hari untuk bisa naik pentas. Superband itu pun terpaksa tampil singkat karena waktu yang sudah tidak memungkinkan.
Diselamatkan Artis dan Penonton
Beruntung permasalahan dan kesan buruk Prambanan Jazz 2017 terselamatkan oleh totalitas penampilan para artis. Di tengah ketidaktepatan waktu dan pentas yang singkat, mereka tampil dengan penuh kesungguhan hati.Â
Selain membawakan aransemen musik dan lagu terbaik, para artis mampu juga menjalin komunikasi yang hangat dengan para penonton di tengah keterbatasan waktu. Aksi dan interaksi yang terbangun sejenak mampu menepikan masalah yang terjadi.
***
Disebut-sebut sebagai salah satu festival musik terbesar di Indonesia, Prambanan Jazz 2017 memasang slogan sebagai pertunjukkan musik yang menggabungkan budaya dan kearifan lokal. Tapi akhirnya hal itu lebih tampak sebagai slogan normatif yang sulit dipahami. Festival musik ini justru menjadi etalase buruk soal penghargaan terhadap waktu yang dalam beberapa hal barangkali dapat juga diartikan kurang menghargai artis dan penontonnya.