Mohon tunggu...
Hendra Wardhana
Hendra Wardhana Mohon Tunggu... Administrasi - soulmateKAHITNA

Anggrek Indonesia & KAHITNA | Kompasiana Award 2014 Kategori Berita | www.hendrawardhana.com | wardhana.hendra@yahoo.com | @_hendrawardhana

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Ada Campur Tangan Tiongkok di Makanan Nasional Indonesia Ini

10 Januari 2017   11:00 Diperbarui: 10 Januari 2017   15:49 2065
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Soto ayam yang sangat populer di Indonesia layaknya makanan nasional (dok. pribadi).

Pagi yang dingin dan semangkuk soto adalah pasangan kenikmatan. Untuk menciptakannya cukup mudah. Cukup datang ke penjual soto yang banyak berserakan di sepanjang jalan.

Saya sebenarnya bukan penggemar berat soto. Akan tetapi akhir-akhir ini saya kerap bersantap pagi dengan semangkuk soto karena cuaca yang sering hujan sehingga makanan berkuah panas menjadi pilihan. Penjual soto juga sudah banyak dijumpai sejak pukul 6 pagi. Selain itu isiannya lumayan ada karbohidrat, protein, dan sayuran meski jumlahnya sedikit. Maka pada Senin pagi kemarin pergilah saya ke sebuah tempat penjual soto yang setiap hari selalu ramai meski hanya berjualan secara sederhana di bawah pohon rambutan dan mangga. 

Beberapa kali menikmati soto saya kemudian menyadari betapa beragamnya varian soto di Indonesia. Saya sudah mencicipi racikan soto dari beberapa daerah seperti Jogja, Solo, Semarang, Surabaya, Lamongan, Jakarta (Betawi), hingga soto khas wong Banyumas terutama Purwokerto, Sokaraja, dan Purbalingga yang disebut sroto. Soto ala orang Sumatera juga sempat saya cecap. Dan soto yang saya nikmati pagi ini adalah soto ayam gaya Yogyakarta yang berkuah ringan dengan jejak kekuningan dari minyak kaldu ayam.

Varian soto memang cukup banyak, terutama di Jawa, lebih khusus lagi Jawa Tengah dan Yogyakarta yang menjadi gudangnya soto. Selain itu soto juga ada di beberapa daerah di Sumatera dan Sulawesi. Kita pun mengenal soto khas Medan dan coto asal Makassar. Semua varian soto di Indonesia enak dan tak sedikit yang menjadi signature dish daerah masing-masing. 

Soto ayam gaya Yogyakarta dengan kuah yang tidak bersantan (dok. pribadi).
Soto ayam gaya Yogyakarta dengan kuah yang tidak bersantan (dok. pribadi).
Soto gaya Betawi dengan kuah bersantan dan irisan tomat yang besar (dok. pribadi).
Soto gaya Betawi dengan kuah bersantan dan irisan tomat yang besar (dok. pribadi).
Dalam keberagamannya, semua soto memiliki identitas yang sama yakni berkuah dengan isian utama berupa mie soun dan daging, bisa daging ayam, sapi, udang, bebek dan daging lainnya. Kuahnya bisa encer maupun yang bersantan agak kental. Bahkan, ada yang menambahkan susu sebagai campuran kuah. 

Pelengkap isi soto bervariasi, seperti kol/kobis, tauge, tomat, daun bawang, daun seledri, bawang goreng, koya, dan masih banyak lagi. Telur rebus dan jeroan seperti babat, usus, hati dan ampela juga sering disertakan sebagai pendamping yang nikmat bagi yang menyukai.

Karena kepopulerannya, serta rasanya yang nikmat dan mudah diterima oleh lidah setiap orang, soto akhirnya menjadi salah satu makanan nasional Indonesia. Padahal, jika ditelisik jauh ke belakang, makanan berkuah ini bukanlah sajian asli yang diciptakan orang Indonesia. Masyarakat Indonesia zaman dahulu, terutama orang Jawa cenderung tidak membuat makanan berkuah banyak dan panas. Apalagi jika dihubungkan dengan tradisi dan kondisi masyarakat di masa lalu yang terbiasa makan menggunakan tangan dan peralatan makan seadanya.

Lalu dari mana soto berasal dan siapa yang memperkenalkannya kepada masyarakat Indonesia?. Hidangan Soto memang lahir di Indonesia, tapi cikal bakalnya ternyata berasal dari budaya makan orang Tiongkok yang di masa dahulu datang sebagai imigran. Menyantap makanan berkuah panas dalam mangkuk adalah kebiasaan orang-orang Tiongkok sebagai bentuk adaptasi sekaligus kebutuhan karena hidup di negara empat musim. Dan, membawa resep masakan sendiri juga menjadi kebiasaan mereka saat menjelajah negeri lain.

Pendamping soto yang lazim dijumpai (dok. pribadi).
Pendamping soto yang lazim dijumpai (dok. pribadi).
Dalam buku berjudul “Peranakan Tionghoa dalam Kuliner Nusantara” (penerbit Kompas, 2013), soto berasal dari kata “cau du” yang dibaca “cau tu” dan dalam dialek Hokkian berbunyi “chau to”. Ada versi lain yang menggunakan kata “shau du” yang dalam dialek Hokkian berbunyi “sio to”. Lidah orang Indonesia kemudian menyederhanakan pengucapan dan penulisannya menjadi “soto”.

Pada awalnya soto ala imigran Tiongkok sangatlah sederhana dan rasanya tidak sekaya saat ini. Diduga pada saat itu soto hanya berupa daging atau jeroan yang dimasak dalam kuah panas. Orang Tiongkok memang gemar menyantap daging dan jeroan, tapi tidak menggunakan banyak jenis bumbu. 

Sudah makan soto hari ini? (dok. pribadi).
Sudah makan soto hari ini? (dok. pribadi).
Mereka kemudian menemukan ada banyak bumbu termasuk rempah-rempah yang bisa digunakan di Indonesia. Di sisi lain ada bahan-bahan yang kurang akrab di lidah orang Indonesia sehingga diganti dengan bahan lain yang lebih familiar bagi masyarakat lokal. Dari situlah soto kemudian berkembang baik dari segi rasa maupun isiannya dan diterima secara luas oleh lidah orang Indonesia. Lama kelamaan orang Indonesia pun berkreasi meramu resep soto sesuai seleranya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun