Mohon tunggu...
Wardah Roudhotina
Wardah Roudhotina Mohon Tunggu... Psikolog - Psikolog Klinis

Berfokus pada kasus-kasus remaja hingga dewasa, menyukai hal-hal yang berkaitan dengan pengembangan diri dan melihat satu situasi dari sudut pandang yang berbeda. Kompasiana menjadi tempat belajar (menulis) dan menuangkan isi pikiran saya.

Selanjutnya

Tutup

Parenting Artikel Utama

Psikologi: Tidak Hanya Orang Dewasa, Anak Juga Butuh Validasi Emosi

26 Januari 2023   20:59 Diperbarui: 28 Januari 2023   15:55 727
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi orangtua validasi perasaan anak (Freepik/jcomp)

"Aku lelah, tapi aku juga bingung sama apa yang aku rasain sekarang"

"Aku juga sulit mengejar materi sekolah, padahal dulu aku bisa"

Sebuah obrolan singkat dengan seorang anak remaja yang datang menemui saya. 

Awalnya saya berpikir jika anak tersebut sedang mengalami stres setelah kembali ke sekolah. Semakin dalam obrolan kami, saya menyadari jika anak tersebut sedang mengalami masalah dengan emosinya.

...

Sebagai orang tua, mendampingi proses tumbuh kembang seorang anak bukan hal yang mudah. Seringkali anak berpikir jika orang tua belum dapat memberikan apa yang ia butuhkan, sedangkan orang tua berpikir jika sudah memberikan yang terbaik untuk anak. Berbagai konflik relasi orang tua dan anak menjadi makanan sehari-hari jika tidak dihadapi dengan tepat. 

Dalam hal ini, pola pengasuhan menjadi kunci utama yang mendukung proses tumbuh kembang anak, baik secara fisik, psikis, emosi, sosial, intelektual, dsb. 

Setiap keluarga memiliki pandangan tersendiri dalam menentukan pola asuh, yang salah satunya dipengaruhi oleh faktor pemberian pola asuh sebelumnya (yang orang tua dapatkan semasa kecil).

Proses pengasuhan anak tentu akan melibatkan komunikasi, dan interaksi di dalam keluarga memiliki pengaruh terhadap perkembangan emosi anak. Bagaimana respon keluarga akan mempengaruh kualitas emosi anak di masa selanjutnya. Mungkin akhirnya kita jadi teringat dengan memori masa kecil saat mendengar kalimat "Gitu aja nangis, udah diam!" Atau "Jangan nangis, malu dilihat orang!". 

Sekilas kita yang pernah mengalami akan menganggap sebagai hal biasa, bahkan mungkin saat ini kita sedang menerapkan hal yang sama pada adik, keponakan, atau anak. Tanpa kita sadari, ternyata situasi ini cukup berpengaruh pada diri kita setelah mulai beranjak remaja.

Individu yang tidak pernah bisa mengungkapkan perasaan, takut mendapat penolakan (lagi)/respon buruk dari orang terdekat akan memilih untuk memendam. Mereka yang selalu diarahkan untuk hanya memiliki emosi positif akan berpikir jika tidak boleh merasakan emosi negatif. Situasi berulang yang tanpa sadar menjadi bumerang untuk diri sendiri. Akan ada perasaan bersalah saat merasakan emosi negatif, berusaha mencari aktivitas pengalihan agar terlihat baik-baik saja, namun akhirnya mudah tersulut amarah hingga muncul perilaku agresif. Dampak lebih lanjut, situasi yang memburuk dapat mengarah pada gangguan psikologis.

Lalu apa yang sebenarnya dibutuhkan untuk mencegah situasi tersebut? Validasi Emosi

Tentu bukan hal yang mudah untuk dipraktikkan, terutama bagi kita yang tidak pernah mendapat validasi sejak kecil. Ketrampilan yang membutuhkan pengakuan dan penerimaan emosi secara utuh tanpa menghakimi. 

Bagaimana pun, perlu kita sadari bahwa menenangkan anak "segera" saat merasa tidak nyaman bukan satu-satunya cara untuk membentuk mental anak menjadi kuat. 

Dengan memberikan validasi emosi, maka akan membantu meringankan apa yang ia rasakan. Kedepannya, anak akan mampu menyadari bahwa merasakan berbagai muatan emosi negatif adalah hal yang wajar saat menghadapi situasi yang tidak nyaman. Anak juga akan belajar bagaimana mengenali dan meringankan perasaan yang tidak nyaman secara mandiri.

Ada beberapa cara yang dapat dipraktikkan untuk membantu anak memvalidasi perasaannya.

  • Sadari dan kenali apa yang terjadi pada anak
  • Kenali sumber/penyebab emosi anak
  • Berikan validasi atas apa yang anak rasakan (misal: "pasti rasanya berat menerima kekalahan di pertandingan hari ini. Gpp kalau kakak merasa sedih.."
  • Bantu anak mengenali apa yang ia perasaan, bagian tubuh yang tidak nyaman, dan pikiran yang mengganggu
  • Dampingi anak dan berikan penguatan agar dapat melewati situasi tersebut

Beruntung saat ini layanan profesional psikolog sudah banyak dikenal masyarakat. Seringkali saya mendapatkan klien remaja yang sebagian besar pokok masalahnya berkaitan dengan emosi. 

Sebagai profesional, kami bisa membantu para remaja untuk bisa menyadari dan mengenali apa yang saat ini ia rasakan. Namun harapan kami, semoga anak-anak dan para remaja di luar sana (dalam proses tumbuh kembangnya) dapat terfasilitasi oleh keluarga dalam mengolah emosi secara tepat.

Mengakhiri ulasan ini, "Emosi negatif memiliki hak yang sama dengan emosi positif. Peran kita bukan untuk menghindari atau mengabaikan perasaan tidak nyaman, tapi menerima dan mengakui sebagai bagian dari diri kita saat ini. It's okey not to be okey!"

Sumber :

  • Lambie, J.A. & Linberg, A. (2016). The Role of Maternal Emotional Validation and Invalidation on Children's Emotional Awareness. Merrill-Palmer Quarterly. 62 (2), pp.129-157
  • Westphal M, Leahy RL, Pala AN, Wupperman P. (2016). Self-compassion and emotional invalidation mediate the effects of parental indifference on psychopathology. Psychiatry Research. 242. pp.186-191.
  • https://www.verywellmind.com/what-is-emotional-validation-425336

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun