Mohon tunggu...
Wardah Fajri
Wardah Fajri Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Penulis Pengembara Penggerak Komunitas

Community Development -Founder/Creator- Social Media Strategist @wawaraji I www.wawaraji.com Bismillah. Menulis, berjejaring, mengharap berkah menjemput rejeki. Blogger yang menjajaki impian menulis buku sendiri, setelah sejak 2003 menjadi pewarta (media cetak&online), menulis apa saja tertarik dengan dunia perempuan, keluarga, pendidikan, kesehatan, film, musik, modest fashion/fashion muslim, lifestyle, kuliner dan wisata.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Selamat Dek! Momen Itu Lebih dari Sekadar Wisuda Gelar Sarjana

7 Juni 2015   02:47 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:19 286
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1432642983593048902

[caption id="attachment_367870" align="aligncenter" width="420" caption="Dok. Pri"][/caption]

Sabtu, 23 Mei 2015, adalah hari dengan beberapa momen penting bagi saya. Sudah lama terjadwal, hari itu saya bertugas di Bandung, menjadi pemateri untuk Kompasiana mendukung kegiatan Kompas Kampus. Tugas sekaligus tantangan untuk menguji kemampuan diri. Namun, ada kabar baik, saya gagal berangkat ke Bandung. Cukup senang, karena akhirnya saya bisa menghadiri wisuda Sarjana adik, anak bungsu, anak ke-8 di keluarga besar saya. Jelang 23 Mei, menerima kabar, saya harus tetap berangkat ke Bandung. Galau karena merasa mendadak dan harus mengubah lagi rencana terutama mental untuk siap tak siap menjalankan tugas, juga membuat sedikit sedih keluarga karena tak bisa menemani dan mendokumentasikan kelulusan adik.

Tanggal itu pun berlalu. Saya bertugas ke Bandung, adik, kakak, ayah dan ibu saya berangkat ke Taman Mini Indonesia Indah  mengantarkan adik untuk wisuda. Hari itu berjalan lancar-lancar saja. Sebagai bentuk syukur juga mengusir rasa bersalah tak bisa hadir mendokumentasikan kelulusan, saya merasa harus menuliskan ini, untuk adik, Irfan Rahman.

Beberapa hari sebelum tanggal 23 Mei, saya sempat bincang ringan dengan rekan kerja. Biasa, obrolan makan siang sambil mencairkan suasana kerja yang banyak deadline-nya. Kami, dua perempuan yang tak berbeda terlalu jauh usianya, bicara soal kriteria memilih pasangan. Saya sudah menikah, teman saya masih menyeleksi calonnya. Meski beda statusnya, kami punya pemikiran yang sama. Mencari pasangan, sebaiknya yang taat/takut pada Tuhan, yang saleh yang beriman. Karena hanya berbekal iman itulah hidup bisa lebih berkah dan terarah. Berat juga yaa bahasannya. Tapi bagi kami berdua, yang sepemikiran, ternyata topik itu menyenangkan. Kami sama-sama merasa, iman itulah yang menjadi bekal supaya kehidupan lebih mudah dijalani, karena kita disayangi si pemilik jiwa.

Panjang lebar bercerita soal pasangan beriman, alias laki-laki saleh,  saya pun mengisahkan adik Irfan. Saya mencontohkan bagaimana laki-laki muda ini (yang enggak tahu deh sebenarnya sudah berpasangan atau belum karena urusan itu rasanya tertutup sekali baginya) sangat menjaga ketaatannya. Saleh. Anak bungsu kebanggaan orangtua saya yang sangat mendambakan anak-anaknya rajin ibadah, tak putus shalat dan rajin mengaji. Sederhana saja harapan orangtua saya. Karena mereka yakin, ibadah yang terjaga akan menguatkan akidah, yang akhirnya bisa menyelamatkan diri kini dan nanti.

Adik saya, bisa dibilang, adalah anak laki-laki paling saleh di keluarga besar. Di usia muda, dia punya level ketaatan ibadah yang bagi saya, di luar kebiasaan pria seusianya. Dia tidak fanatik tapi setia dengan berbagai ritual yang saya lihat sebagai caranya selalu berusaha dekat dengan Tuhan.

Saya bilang ke teman kerja tadi, kedekatannya dengan Tuhan itulah yang membuat hidupnya penuh berkah. Meski masih tercatat sebagai karyawan outsourcing, namun tempatnya bekerja adalah instansi besar yang membanggakan kalau menyandang status bekerja di tempat itu. Sederhananya, kariernya baik dan potensi dirinya berkembang sebagai karyawan call center. Saya ingat adik pernah mendapat kesempatan mempresentasikan program untuk perusahaannya, sebagai bentuk kepercayaan dari atasan dan perusahaan, atas potensinya untuk mencapai level tertentu dalam karier. Karier yang baik rejeki juga baik. Saya sih tak pernah mau tahu berapa gajinya, tapi rasanya secara finansial dia tak bermasalah, dan rutin memberikan "jatah" kepada orangtua setiap bulannya. Punya kakak bawel seperti saya, adik juga mengikuti apa yang saya sarankan soal berinvestasi entah dengan logam mulia atau produk keuangan lainnya. Adik pun tak sungkan bertanya apa yang sebaiknya dia lakukan untuk mengamankan finansial kini dan nanti. Kami pun kerap berdiskusi soal keuangan. Dan saya berhasil membuatnya merencanakan keuangan dengan berinvestasi logam mulia. Saya bangga, meski perencanaan finansial saya tak sebaik dia nyatanya.

Bukan hanya karier yang menurut saya terus berkembang, adik juga mampu membiayai kuliahnya sendiri. Salah satu risiko beranak banyak adalah kemampuan orangtua terus menurun termasuk untuk membiayai pendidikan anak dengan inflasi yang terus  naik setiap tahunnya. Adik saya contohnya. Saat dia harus kuliah selepas lulus SMK, orangtua tak punya cukup dana untuk membiayai kuliah yang bonafid. Kami pun berdiskusi dan adik harus menjalani kuliah D3 di sebuah lembaga pendidikan yang sangat terjangkau biayanya. Yang penting lulus dengan gelar dan keterampilan tambahan usia SMA. Kuliah D3, adik masih dibiayai orangtua.

Tak puas dengan jenjang pendidikan itu, adik saya memutuskan melanjutkan S1 dengan program yang sama, Bahasa Inggris, dengan biaya sendiri. Dia membiayai kuliahnya sendiri. Berusaha mengatur jadwal kerja dan kuliah, dari pekerjaan sebelumnya yang membuatnya harus ekstra kerja keras karena bekerja dengan shift malam dan tak teratur, sambil menyeimbangkan dengan kuliah. Hingga kemudian pindah ke perusahaan lain yang memudahkannya bekerja dengan jam normal dan menuntaskan kuliahnya.

Kuliahnya tuntas, kariernya terus berkembang dengan belakangan saya melihat dia lebih sering ke luar kota dan mendapatkan  kesempatan pelatihan yang saya yakin bisa menambah skillnya kini dan nanti. Rejekinya pun diberkati karena tak pernah saya dengar kabar kesulitan keuangan termasuk untuk membiayai kuliah. Bagi saya, perjalanannya menginspirasi dengan kemandirian. Dan saya pun menyimpulkan, perjalanannya berkah berkat ketaatannya, kecintaannya beribadah.

Tanggal 23 Mei 2015, yang saya lewatkan momen kelulusannya, bagi saya adalah hari pencapaian si bungsu dalam keluarga besar kami. Sebuah reward atas kerja kerasnya, kasih sayangnya kepada kedua orangtuanya, kepada keluarganya. Sesuai namanya, Irfan Rahman (kebijaksanaan penuh kasih), pria muda ini memang sangat menyayangi keluarganya. Kepada orangtua terutama, saya pun merasa sangat beruntung menjadi kakaknya, banyak kasih sayang yang saya dapatkan darinya meski tak pernah sekali pun dia mengucapkannya. Yang paling saya rasakan adalah kasihnya yang besar untuk anak perempuan saya, dan uniknya, anak perempuan saya juga membalas kasihnya dengan tak pernah menolak jika omnya itu menggendongnya, mengajaknya bermain, dan tak pernah menunjukkan rasa takut, enggan kalau omnya mendekatinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun