Mohon tunggu...
Kraiswan
Kraiswan Mohon Tunggu... Pengamat dan komentator pendidikan, tertarik pada sosbud dan humaniora

dewantoro8id.wordpress.com • Fall seven times, raise up thousand times.

Selanjutnya

Tutup

Parenting Artikel Utama

Katanya Sabar, Kok Bisa Kasar pada Anak?

20 Mei 2025   09:00 Diperbarui: 20 Mei 2025   13:08 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi ayah dan anak | foto: Shutterstock via kompas.com

Tidak ada sekolah khusus untuk menjadi orang tua. Tak ada gelar resmi, tak ada wisuda. Maka, jika suatu saat kita melakukan kesalahan, yang bisa kita lakukan hanyalah: minta maaf, perbaiki, dan bertobat. Lalu, jangan ulangi lagi. Mungkin begitulah cara belajar yang paling nyata dalam menjadi orang tua.

Zaman sekarang, sebenarnya media untuk belajar jadi orang tua sangat melimpah. Ada YouTube, Instagram, kelas parenting daring dan luring, juga buku-buku parenting dari penulis ternama. Tapi ironisnya, yang sering terjadi adalah: belum sempat belajar, anak sudah lahir.

Baru mau mendaftar kelas parenting, anak sudah bisa berlari ke sana kemari. Baru mau beli buku, anak sudah duduk di bangku sekolah. Waktu habis, kesempatan terlewat. Sibuk... sibuk... dan lagi-lagi, sibuk.

Suatu malam, istriku sedang menyelesaikan PR dari kelas konseling pasangan yang sedang kami ikuti. Dia sibuk mengetik di laptop, fokus penuh, seperti sedang menghadapi ujian akhir semester.

Aku menemani anak kami bermain di ruang tengah. Tapi, namanya juga balita---penasaran dan lincah---ia menyusul ke kamar dan melihat mamanya serius menatap layar.

Laptop itu mulai lowbat. Aku tahu, karena aku yang terakhir memakainya. Dengan sigap, aku mengambil charger dan segera mencolokkannya ke stop kontak. Namun, di saat bersamaan, anak kami ikut bereaksi. Dengan semangat ala orator, ia berkata, "Aku ajaaa!" Ia ingin mencolokkan charger ke stop kontak juga.

Di sudut kamar, memang ada papan permainan berisi alat tukang, lengkap dengan stop kontak bekas. Sebagai pengalih, aku arahkan dia ke situ. Aman, kupikir.

Setelah perhatian anak teralihkan, aku menancapkan charger ke stop kontak aktif. Tapi ternyata, ia memperhatikan. Ia mendekat dan mulai menarik-narik kabel itu. Aku khawatir, tentu saja. Bahaya listrik itu nyata.

Aku mulai menegur. Sekali, tak digubris. Dua kali, tetap tak dihiraukan. Pada teguran ketiga, karena panik dan takut anakku tersetrum, aku menyentil celah jarinya. Bukan keras. Tapi tetap saja, ia kaget. Dan lalu... menangis histeris.

Katanya sabar... kok bisa kasar pada anak?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun