Kehidupan dan kematian adalah dua sisi mata uang yang tak terpisahkan dalam perjalanan manusia di dunia ini.
Dengan kemajuan teknologi, orang tua kini bahkan bisa memilih tanggal "cantik" kelahiran anak mereka. Namun, si anak sendiri tak punya kuasa untuk menentukan kapan, di mana, dan bagaimana ia akan lahir.
Demikian pula dengan kematian. Manusia bisa hidup lama, bahkan lebih dari 100 tahun, tapi tak seorang pun dapat menolak ajal ketika ia datang. Tak peduli siapa kita: kaya, terkenal, atau berkuasa---semuanya akan berujung sama.
Ada kesamaan antara kelahiran dan kematian: keduanya diiringi air mata. Bedanya, tangisan saat kelahiran dinanti-nantikan---tanda bayi itu hidup dan sehat. Sementara air mata dalam kematian tidak pernah diharapkan, tapi harus dialami juga.
Beberapa hari terakhir, aku mendengar kabar duka dari berbagai sudut lingkungan. Ada orang tua teman yang wafat, kerabat jauh, hingga bayi tetangga yang baru saja lahir namun tak bertahan lama. Berita-berita itu datang beruntun, seolah ingin menegaskan: kita tidak berkuasa atas hidup kita sendiri.
Kalau hidup kita saja tidak dalam kendali, mengapa kita merasa bisa mengatur hidup orang lain? Dengan uang, kekuasaan, atau jabatan dunia politik? Tidakkah itu terlalu pongah? Dari rumah duka, aku menemukan tiga mutiara kehidupan:
1. Ditinggalkan, Tapi Tak Sendirian
Peristiwa duka selalu meninggalkan kesedihan mendalam. Saat seseorang yang kita sayangi berpulang, dunia terasa sunyi dan hampa. Saat itulah kehadiran orang lain---keluarga, sahabat, tetangga---menjadi penghibur yang nyata. Kehidupan sosial yang terjalin selama ini menjadi sangat berarti.
Aku melihat sendiri bagaimana warga saling bahu membahu membantu keluarga yang sedang berduka. Menyiapkan segala kebutuhan, mendampingi, bahkan hanya sekadar hadir untuk menyatakan simpati. Saat seseorang mengalami kehilangan, solidaritas lingkungan menjelma menjadi pelukan hangat tak terlihat, tapi sungguh terasa.
Sebaliknya, mereka yang hidup menyendiri---tanpa pernah menyapa atau peduli pada sekitar---mungkin akan benar-benar merasa sendiri saat musibah datang. Meski begitu, aku percaya bahwa jiwa kemanusiaan masih ada. Dalam banyak kasus, mereka yang kurang bersosialisasi tetap mendapat bantuan. Sebab, dalam kesedihan empati manusia sering kali mengalahkan rasa kecewa.