Berkemah (camping) menjadi hobi yang ingin kami ajarkan pada anak sejak dini. Selain menjadi cara mengenalkan anak pada alam, berkemah memiliki banyak manfaat, misalnya melatih kemampuan adaptif, apalagi di era yang serba praktis ini. Meninggalkan kenyamanan yang ada di rumah.
Tapi, apa jadinya kalau kemah dilakukan di rumah? Emang seru yah...?
Berkemah artinya tinggal di dalam kemah (tenda). Pada zaman dulu, Bangsa Israel melakukan perjalanan menuju Tanah Perjanjian melewati padang gurun. Mereka tinggal di kemah sementara.
Tinggal di kemah berarti anti-nyaman. Siang sangat panas, malam sangat dingin. Belum kalau ada ancaman binatang buas. Atau dehidrasi dan sekarat karena tiada air.
Kemah zaman sekarang sih enak. Tendanya sudah praktis, ringan dan mudah dibawa. Kompor portabel bisa memanjakan kita untuk memasak kopi dan mi instan. Ada senter, kompas, sleeping bag, hammock, bahkan kompas jika Google Maps tidak mendapat sinyal. Wenak toh!
Meski begitu, tetap banyak manfaat yang bisa dipetik dari berkemah. Itulah mengapa, aku dan istri greget untuk membiasakan berkemah. Biaya sewa tenda di Salatiga sangat terjangkau, kisaran Rp60.000/malam untuk kapasitas 4-6 orang. Perlengkapan pendukung seperti matras, kompor, dll di kisaran Rp10.000-20.000/item.
Suatu kali, sehabis berkemah, anak nyeletuk, "Papa, ayo kita kemah lagi!" Wah, ada yang ketagihan berkemah nih ye! Maka, saat mendapat uang THR, aku dan istri bertekad mengabadikannya untuk barang kebutuhan rumah tangga. Dapatlah satu karpet dan satu tenda kapasitas 4-6 orang. Meski THR langsung ludes, barang ini akan dipakai jangka panjang.
Kalau mau berkemah, tak harus repot-repot menyewa. Mau kemah tiap hari pun bisa. Kemah di teras, atau dalam rumah, gas ajalah!
Kemah kok di rumah...?
Bagi anakku, definisi kemah adalah tidur di dalam tenda. Tak soal apakah tendanya dibangun di gunung, tepi sawah, atau teras sekalipun. Asal bukan di tengah jalan ya!
