Mohon tunggu...
Kris Wantoro Sumbayak
Kris Wantoro Sumbayak Mohon Tunggu... Guru - Pengamat dan komentator pendidikan, tertarik pada sosbud dan humaniora

dewantoro8id.wordpress.com • Fall seven times, raise up thousand times.

Selanjutnya

Tutup

Love Pilihan

Beda Adat, Siapa Takut? #12

27 Juli 2022   01:01 Diperbarui: 23 November 2022   23:34 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto bersama di KRB, tapi saling berjauhan | dokumentasi pribadi

Jauh-jauh ke Bogor, tujuan utamaku bukanlah mengunjungi Kebun Raya Bogor. Ada hal yang lebih penting, bahkan dibilang paling penting untuk dibereskan. Sebab, bakal menentukan masa depan Pasangan Hidupku.

Hujan telah menahanku cukup lama di rumah kontrakan doi hingga petang. Kami sudah mengobrol ngalor-ngidul. Adzan maghrib selesai berkumandang, hujan pun pamit. Mengisyaratkan bahwa aku harus berbicara. Menyampaikan tujuanku datang ke sini.

Jika ada kata yang paling tepat mewakili perasaanku saat itu yakni 'galau'. Hatiku bergejolak hebat. Bilang ke doi ndak ya? Kalau tidak bilang, rugi datang jauh-jauh ke Bogor dengan tiket mahal. Jika bilang, takut ditolak (lagi).

Semakin lama aku berpikir, semakin membuang waktu, semakin galau dan tidak mendapat hasil. Cowok macam apa aku ini? Tinggal ngomong kok susah banget. Mbok ya jadi cowok itu yang tegar gitu lho...

Doi sudah bersiap memakai jaket, hendak menyiapkan motor. Entah dapat keberanian dari mana, di teras dengan penerangan lampu sekitar 9 watt, akhirnya aku bicara. "Yan, sebelum aku pamit, bisa duduk sebentar, aku mau ngomong. Penting."

Nah kan bener, ada maunya kawan ini datang ke sini. Tidak mungkin cuma mau main ke Kebun Raya Bogor. Kira-kira begitu doi merespons dalam hati.

Yanti pun duduk di sampingku. Serius, aku bingung harus ngomong mulai dari mana, padahal sudah seharian bersama. Lidahku terasa kelu, berat untuk berkata-kata. Jika diibaratkan, kondisiku seperti anak kecil yang ketahuan memecahkan kaca jendela tetangga waktu main bola. Hanya bisa menunduk diam. Sampai akhirnya...

"Sejujurnya, dalam beberapa bulan terakhir aku sudah mendoakan kamu sebagai Pasangan Hidupku. Tujuanku datang ke sini adalah untuk menyampaikan isi hatiku. Aku juga ingin tahu, apakah kamu sedang mendoakan, didoakan/ bergumul dengan orang lain, atau betulan memang ingin selibat?

Kamu tidak harus menjawab sekarang. Yang penting aku sudah menyampaikan isi hatiku. Namun aku berharap kamu segera memberikan tanggapanmu."

PLONG rasanya. Meski belum mendengar sepatah kata pun respons Yanti, aku merasa lega sudah mengeluarkan ganjalan dalam hati. Beban berat yang menimpa pikiran ini sudah terlepas sebagian. Setidaknya aku bisa pulang dengan langkah sedikit ringan, tidak terbelenggu oleh rasa penasaran dan ketidakjelasan yang bisa berujung penyesalan.

Yanti tidak langsung merespons. Untuk beberapa menit, doi diam. Embusan lembut angin malam mengisi keheningan di antara kami. Entah apa yang dipikirkan. Aku tidak ingin memaksa doi segera merespons. Tapi, apakah doi bisa menjawab, lebih tepatnya, menjawab sesuai ekspektasiku...?

"Tapi aku orang Batak loh, Kris. Trus, kamu di Surabaya, sedangkan aku di Bogor." So what...? Aku bahkan tidak melihat Yanti sebagai orang Batak. Aku baru mau mengungkapkan isi hati (bukan nembak), rela datang ke sini. Surabaya-Bogor bukanlah masalah berat.

Tanggapan Yanti itu bak "tembok" yang dibangunnya di depanku, atau justru "batu uji". Menjadi "tembok" jika itu menjadi cara halus Yanti menolakku. Tapi menjadi "batu uji", apakah aku sanggup menghadapi tantangan yang dimaksud Yanti.

Dua poin yang Yanti sampaikan tentu bukan masalah berat bagiku. Dari beberapa pengalaman sebelumnya telah membentukku menjadi makin tangguh. Takkan luluh hanya karena satu dua hambatan eksternal.

Aku lebih tertarik pada karakter dan kepribadian Yanti, meski cuma beberapa kali bertemu. Jarak Surabaya-Bogor juga masih terjangkau dengan kereta, bus, atau pesawat jika perlu.

Atas pengakuanku, Yanti pasti merasa seperti petir di siang bolong. Tidak ada angin, tiada mendung, tetiba ada makhluk asing yang datang, mengatakan bahwa sudah mendoakan doi sebagai calon Pasangan Hidup, hahaha....

Yanti meminta waktu 100 hari untuk mendoakan hal ini secara pribadi. Apa, seratus hari? Kenapa lama sekali? Durasi itu dirasa terlalu lama, sebab maksud dan tujuanku sudah jelas. Namun, aku tetap menghormati dan memahami keadaannya. Aku tidak boleh mengedepankan ego.

Tahapan ini yang diajarkan kepada kami selama belajar dalam KTB. Mendoakan dengan sungguh-sungguh sosok yang akan mendampingi seumur hidup. Tidak terburu-buru, apalagi sembarangan. Lagi pula, pengenalan kami masih sangat terbatas. Daripada menyesal nantinya, lebih baik bersabar.

Meski belum tahu respons Yanti, aku merasa LEGA. Aku tidak nembak, jadi tidak menuntut jawaban saat itu juga. (Prinsip ini berbeda dengan orang kebanyakan) Aku akan sabar menunggu waktu Yanti berdoa secara pribadi. Jika datang waktunya, Yanti akan membagikan hasil doanya. --KRAISWAN 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun