Setelah puas mengitari KRB dan mengambil beberapa foto kami bersiap pulang. Awan bermuka gelap, peringatan akan datangnya hujan. Di swalayan dekat rumah aku membeli roti untuk bekal dan mengambil uang dari ATM. Pas tiba di rumah kontrakan langsung hujan deras. Puji Tuhan, setidaknya kami tidak basah di perjalanan. Rencananya, hari itu juga aku akan pulang ke Salatiga naik bus.
Tapi gawat... Sejak tiba di rumah kontrakan, sekitar pukul 15.00 hujan terus mengguyur. Namanya juga kota hujan. Doi tidak menawarkan memakai mantel. Tidak ada pikiran untuk menerobos hujan menuju terminal.
Saat langit menumpahkan air ke Bumi, idealnya masuk rumah dan menutup pintu supaya hangat. Namun, aku tahu doi sendirian di rumah ini. Pantang bagiku di dalam rumah berdua sambil menutup pintu. Aku menolak memberi celah si jahat untuk menggoda. Aku tahu batasannya. Maka, kami memilih mengobrol di teras.
Hujannya awet, dan kami belum makan siang... Bagaimana cara menolong perut kami? (Waktu itu belum populer aplikasi pesan makanan via ojeg online.) Roti yang aku beli juga tak cukup untuk kami berdua. Warung jauh dari rumah. Maka, cara terbaik untuk mengalihkan rasa lapar adalah dengan mengobrol.
Tetiba doi melakukan sesuatu di luar dugaanku. (Kelak, hal ini menjadi konfirmasi kedua tentang kualitas karakter doi.) Doi masuk ke rumah, lalu sibuk di dapur. Apa yang doi kerjakan?
Ternyata doi dengan cekatan segera menggoreng ikan yang diambilnya dari kolam, memasak nasi, sayur, bahkan membuatkan sambal untuk makan siang kami! Well,
kualitas ini takkan pernah aku tahu jika tak datang ke Bogor.
Dua perlakuannya memberi gambaran bahwa doi pribadi yang peduli. Kenapa Tuhan mengizinkan langit menumpahkan isinya cukup lama? Bisa jadi demi memunculkan karakter doi padaku. Jika hujan segera reda, hal itu takkan dibukakan bagiku.