Mohon tunggu...
Kris Wantoro Sumbayak
Kris Wantoro Sumbayak Mohon Tunggu... Guru - Pengamat dan komentator pendidikan, tertarik pada sosbud dan humaniora

dewantoro8id.wordpress.com • Fall seven times, raise up thousand times.

Selanjutnya

Tutup

Love Pilihan

Beda Adat, Siapa Takut? #1

18 November 2021   09:20 Diperbarui: 18 November 2021   10:53 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Perjuangan menemukan pasangan hidup | foto: KRAISWAN

Di sinilah keunikan kisah Kris dan Yanti. Meski bergabung dalam persekutuan yang sama saat mahasiswa, kampus kami berbeda kota. Kedekatan kami terjalin justru saat masing-masing sudah bekerja, berbeda provinsi pula. Nilai keluarga, temperamen, adat... jangan ditanya!

Perjuangan menemukan pasangan hidup | foto: KRAISWAN
Perjuangan menemukan pasangan hidup | foto: KRAISWAN

Untuk banyak alasan tak masuk akal yang sulit dijelaskan secara ilmiah---apalagi bertanya Google, pertemuan Kris dan Yanti semata adalah anugerah.

Bagi Kris, tidak masalah Yanti berlatar belakang etnis Batak---yang terkenal temperamennya keras dan galak, kontras dengan kalem dan lembutnya wong Jowo---yang nggah-nggih dan pemalu. Demikian pula Yanti, tidak soal Kris turunan Jawa tulen. Betapa pun limpah kesenjangan di antara kami, bukan mustahil hati kami bertaut lalu menjalin pacaran. Prinsip kami dalam memilih Pasangan Hidup (PH) melampaui sekat geografis dan etnis.

Namun seperti Anda pahami, menikah bukan hanya urusan dua kepala, tapi dua keluarga besar. Banyak mulut ingin didengar, banyak kepala ingin dimengerti, berikut rupa-rupa ekspektasi yang menyertai. Belum lagi gegar budaya antara Jawa dan Batak.

Dalam hal pembiayaan pernikahan, misalnya. Di Jawa, yang menanggung biaya pernikahan adalah pihak perempuan. Sedangkan bagi orang Batak, pihak laki-laki. Yanti adalah anak sekaligus cucu pertama oppung (Batak: kakek) dari pihak ibunya. Sebagai anak sulung Yanti mengemban "kuk" budaya, harus diadatkan saat menikah. Itu wajib, tidak ada pengecualian. Bahkan pesta adat ini adalah hutang seumur hidup.  Ngeri kan, gais...

Di mana-mana, yang namanya pesta perlu biaya yang tidak sedikit. Sedangkan keluarga Kris ngepas di semua lini. Bagaimana kami menghadapi ini? Di mana dan seperti apa sebaiknya pernikahan kami kelak dilangsungkan? Bagaimana kalau menikahnya di Jawa saja, memakai adat Jawa yang sederhana? Nah...

Percayalah, menyiapkan pernikahan tidaklah seindah di masa-masa kasmaran saat pacaran.

Syukurnya, penggodhokan selama Kris dan Yanti bermahasiswa telah membentuk pola pikir dan karakter kami lebih matang, terbuka dan dewasa. Kami berani memutuskan dengan pribadi seperti apa akan menikah, berbeda etnis sekalipun, berikut konsekuensi yang menyertai.

Tulisan ini juga menjadi saksi perjalanan Kris dan Yanti dalam masa pencarian, pengenalan hingga persiapan pernikahan. Tantangannya tidak hanya jarak, melainkan ritme kerja, kebiasaan, pola komunikasi, ekspektasi keluarga, kondisi finansial, bimbingan pranikah, bahkan harus mengarungi gelombang pandemi COVID-19. Syukur dalam kesemuanya itu kami tetap berjuang dengan setia satu sama lain dan terus mengandalkan Tuhan.

Bagi kami, pernikahan tidaklah sesederhana berjam-jam pesta (pesta orang Batak bahkan bisa sampai jam 01.00 dini hari); menakar untung atau justru harus menanggung hutang setelah pesta. Lebih penting adalah hari-hari yang panjang dinamis setelah menikah. Ada nilai yang lebih mulia, lebih kekal untuk diperjuangkan dalam pernikahan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun