Mohon tunggu...
Kris Wantoro Sumbayak
Kris Wantoro Sumbayak Mohon Tunggu... Guru - Pengamat dan komentator pendidikan, tertarik pada sosbud dan humaniora

dewantoro8id.wordpress.com • Fall seven times, raise up thousand times.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

13 Tahun Kompasiana, Kukira Tempat Bercerita Ternyata Pembebas Jiwa

23 Oktober 2021   21:48 Diperbarui: 25 Oktober 2021   17:41 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Turut menggembirakan 13 tahun Kompasiana | dokumentasi pribadi

TIGA BELAS TAHUN menjadi satu titik pencapaian yang pantas dirayakan. Ibarat manusia, ia remaja yang menjelang mekar. Juga ujung tunas yang merekah daunnya.

Aku berusia dua kali lebih tua dari Kompasiana. Namun, justru dari 'remaja' ini aku banyak belajar. Darinya aku makin kuat, dewasa dan mensyukuri setiap pemeliharaan Tuhan di dunia.

Jika membuka kembali pita ingatan, pertama kali aku bertemu Kompasiana di tahun 2016. Seorang Kompasianer---yang aku kenal dalam suatu acara---'meracuni'-ku agar bergaul di sini. Mulanya aku iseng bergabung, sekedar untuk menghormati ajakan temanku itu. Tidak perubahan apa pun dalam diriku setelahnya.

Namun, entah mengapa, ada angin aneh dari mana, setelah postingan pertamaku, puisi retjeh berjudul Aku Indonesia, aku didera rasa sakit yang tidak diketahui jenis penyakitnya, apalagi obatnya. Rasa sakit itu bakal lenyap jika aku mengumpulkan setiap tetes gagasan dalam kepala, memanaskannya sampai mendidih lalu mengaduknya berkali-kali.

Terkadang kutinggal minum kopi, mencuci atau sekedar berjongkok di toilet. Aku kembali mengaduk tetes-tetes gagasan di dalam bejana sampai menjadi betulan kental, lalu mengkristal. Kristal berbentuk tak beraturan itu aku congkel, lalu aku paparkan pada surya, dan booom!

Sekelilingku dipenuhi warna-warni keindahan yang membahagiakan. Kombinasi merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila dan ungu menari-nari di depan mataku, ekspresi magis cahaya putih. Eloknya! Di mana lagi aku menemukan keindahan seindah ini?

Menulis di Kompasiana: Auman Saat Tiada Telinga yang Mendengar

Manusia bisa menguasai ribuan bahasa, dari bahasa manusia hingga bahasa malaikat. Tapi percuma jika tak ada telinga yang mendengar. Tak ada yang sanggup mengerti suara itu, mengaum sekalipun.

Di Kompasiana, menjadi wadah yang pas agar suara kita didengar. Setidak-tidaknya tercatat. Meski banyak yang mencibir, "Apa gunanya menulis?" Banyak yang nyinyir, "Tak ada waktu buat membaca". Bagiku, suara yang didengar sudah cukup. Bahkan, terkadang dalam bisikan, jauh lebih lembut dari angin sepoi, suara kita justru terdengar lebih lantang bagi mereka yang terlelap.

Mendapat Centang Biru

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun