Mohon tunggu...
Kris Wantoro Sumbayak
Kris Wantoro Sumbayak Mohon Tunggu... Guru - Pengamat dan komentator pendidikan, tertarik pada sosbud dan humaniora

dewantoro8id.wordpress.com • Fall seven times, raise up thousand times.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Insiden Pemecatan Guru Hervina, Unggah di Medsos Baru Tercelik

16 Februari 2021   17:46 Diperbarui: 18 Februari 2021   01:07 369
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber kolase foto: Pexels/Tracy Le Blanc via hercampus.com, KOMPAS.COM/ABDUL HAQ YAHYA MAULANA T.

Unggahan gaji guru Hervina di media sosial, sumber: ISTIMEWA via indozone.id
Unggahan gaji guru Hervina di media sosial, sumber: ISTIMEWA via indozone.id

Pertama, guru honorer juga pahlawan bangsa. Meski begitu, saya tidak rela menjadi guru honorer. Bagaimana gaji honorer bisa menopang gaya hidup saya membeli paket data agar bisa menulis di Kompasiana? Mana bisa isi bensin motor berapa bulan sekali menunggu digaji, kalau ingat. Hati saya tidak semulia para pengabdi bangsa itu.

Maka, guru honorer adalah pahlawan sejati. Ibarat medan peperangan, merekalah garda terdepan penangkis 'peluru-peluru kebodohan'. Lebih militan, tekun, dan tulus dibanding (sebagian) PNS. Besaran gaji tidak mempengaruhi kinerja mereka. Bandingkan dengan PNS yang hobi izin, padahal bejibun tunjangan.

Saya bukan bicara kosong. 2019, waktu menjadi relawan gempa di Lombok, NTB, saya melihat dengan mata kepala sendiri, guru PNS di desa terdampak yang saya layani tidak datang ke sekolah (tenda). Alasannya, mengurus rumahnya yang kena gempa. Lalu, siapa yang mengajar anak-anak? Para relawan.

Di kelas, kita sering mengoceh (sampai berbusa) pada murid, harus menghargai dan menghormati orang lain, tanpa memandang profesinya. Bagaimana mau digugu kalau kepala sekolahnya bertindak begitu. Jadi, wahai kepala sekolah yang budiwati, jika tidak bisa menyejahterakan honorer janganlah menambah kesusahan mereka.

Kedua, ini zamannya media sosial. Sesuai fungsinya, media sosial memfasilitasi kita mengungkapkan ide, pikiran, perasaan, dan imajinasi kapan pun, pada siapa pun!

Mau menggunggah foto sedang di mana, lagi makan apa, bareng siapa, ngopi di mana, berapa gajinya; bebas! Selama tidak melanggar UU ITE. Jika diakibatkan suatu unggahan ada yang tersinggung, padahal tidak melanggar undang-undang, ya derita situ...

Hervina bukan satu-satunya yang mengalami nasib malang. Jika dengan mengunggah di medsos bisa mencelikkan mata dan menggugah nurani pemerintah, saya yes!

Memangnya, mantan presiden ke-6 saja yang boleh baperan di medsos...?

Baca juga: Kau yang Mengobarkan Semangat agar Kami Merdeka

Ketiga, media sosial sebagai kendaraan kritik. Katanya mencerdaskan kehidupan bangsa dan negara sebagai amanat undang-undang. Bagaimana bangsanya mau cerdas kalau pendidiknya saja tidak sejahtera.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun