Mohon tunggu...
Kris Wantoro Sumbayak
Kris Wantoro Sumbayak Mohon Tunggu... Guru - Pengamat dan komentator pendidikan, tertarik pada sosbud dan humaniora

dewantoro8id.wordpress.com • Fall seven times, raise up thousand times.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Inilah 3 "Derita" Saat Pulkam, tapi Ngangenin

16 Desember 2020   20:40 Diperbarui: 16 Desember 2020   21:01 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pulang kampung, foto: merdeka.com via telisik.id

Ketiga, cuaca dingin di Gunung Purba membuat pakaian dicuci lama keringnya. Nah, daripada kehabisan CD, mending dihemat. Ganti dua hari sekali. Aktivitasnya diatur supaya tidak banyak mengeluarkan tenaga lalu berkeringat. Agenda sehari-hari paling di rumah, bercakap dengan kerabat calon, sesekali membantu beberes rumah. Tapi kalau mandi minimal sehari sekali kok, hehe.

2. Dinginnn...

Kampungku, Watuagung, Kec. Tuntang berdiri di sisi perbukitan Watuagung. Hawanya sejuk menenangkan. Akibatnya, tiap pagi wajib mandi pakai air hangat. Meski begitu, kalau tidak sedang penghujan aman tidur tanpa selimut.

Di Gunung Purba, wajib pakai selimut jika tidak mau menggigil tak bisa tidur. Selimutnya lebih tebal, dua kali lipat dari selimut di rumahku. Tak heran, tiap ke Gunung Purba aku diminta makan banyak-banyak. Supaya tidak cepat lapar. Sudah begitu, mustahil bangun lebih awal.

3. Makan Bersama-Cucian Berlimpah

Salah satu kesenjangan budaya keluargaku dengan calon adalah saat makan. Di kami, tiada tradisi makan bersama. Siapa yang lapar dan longgar, boleh makan duluan. Apalagi ritme hariannya berbeda satu sama lain. Paling banter, misal jajan mi ayam dibungkus dimakan di rumah, barulah makan bersama.

Di keluarga calonku, makan bersama wajib hukumnya. Sebelum semua anggota keluarga berkumpul, tidak ada yang mulai makan. Tak soal kalau makanan sampai dingin. Bagiku, tak ada yang paling baik atau tidak baik. Lain ladang lain ilalang.

Aku melihat secara positif. Kalau di rumah, mau makan lebih fleksibel. Hal lumrah dalam lingkup Jawa, setidaknya di sekitarku. Jadi tidak harus kelaparan karena menunggu anggota keluarga yang lain. Seperti bapak ibuku misalnya, berprofesi buruh, kerjanya seharian. Sedangkan aku dan adik bisa pulang tengah hari. Mustahil untuk makan bersama.

Sedangkan kalau di keluarga calon, kompak satu keluarga. Mau makan besar atau kecil, mewah atau sederhana hanya dengan ikan asin (menu wajib dalam rumah calonku) dibagi dan dinikmati bersama. Dari keduanya, aku belajar agar makin adaptif, tahu menempatkan diri.

Di Jawa, makanan sangat jarang disajikan prasmanan. Ambil dari meja makan, ditaruh langsung di piring masing-masing. Tiap orang mengambil sesuai daya tampung perut. Lain lagi di Medan. Makanan disajikan prasmanan. Nasi, olahan daging, sayur, sambal, ikan teri, kerupuk, dihidangkan di tiap wadah. Jadi orang bisa mengambil, nambah sesuai selera.

Akibatnya cucian menumpuk. Kalkulasikan saja saat keluarga besar berkumpul. (Rata-rata Orang Batak minimal 4 bersaudara ditambah istri dan anak-anak) Makan kenyang, nantinya kerja keras buat mencuci. Anak perempuan yang bakal 'panen'. Meski begitu, aku yang diajari mandiri dan pernah kerja di kafe, tak membiarkan calonku kerja sendirian. Sebisanya membantu. Pencitraan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun