Mohon tunggu...
Kris Wantoro Sumbayak
Kris Wantoro Sumbayak Mohon Tunggu... Guru - Pengamat dan komentator pendidikan, tertarik pada sosbud dan humaniora

dewantoro8id.wordpress.com • Fall seven times, raise up thousand times.

Selanjutnya

Tutup

Beauty Pilihan

Per-jas-an ala Saya dari Masa ke Masa

12 September 2020   00:11 Diperbarui: 12 September 2020   00:08 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi jas, sumber: ashleyweston.com

Jas dipakai oleh mereka yang kerjanya kantoran, pejabat negara atau kalangan tertentu.

Tengoklah anak selebriti, walau kurang dari tiga tahun sudah dipakaikan jas. Gantengnya, aduhai. Macam pangeran muda. Bagi orang Kristen yang meninggal, akan didandani dengan setelah jas lengkap dengan sepatu pantofel. "...dibutuhkan hingga kelak meninggal", tutur ibu.

Hanya kalangan sempit di planet biru ini yang terpaksa mengenakan baju resmi potongan Eropa berlengan panjang ini. Mereka yang digariskan dari sono-nya tinggal meneruskan tongkat estafet turunan engkongnya dan/ wajib berjas. Saya jelas tidak masuk hitungan. Tapi, bagaimana kalau "hukum" itu dilanggar?

Pertama kali saya terpaksa berjas adalah semasa kuliah. Sekitar 2012. Saya bukan anggota BEM atau senat. Bukan pimpinan organisasi. Jelas bukan itu alasan memakai jas. Jelek-jelek begini saya pernah diajak main orkestra musik Natal di gereja. Lebih dari sekali pula. Demi penampilan itu kami diharuskan memakai jas.

Ini bisa menggesek senar biola juga karena kebetulan. Masa demi penampilan setahun sekali itu saya harus membuat pakaian yang harganya tidak murah? Boro-boro membuat, mau sewa saja mikir berlipat. Syukurnya, ada anggota jemaat dewasa yang posturnya 11-12 dengan saya, rela meminjamkan jasnya.

Kali kedua, 2016, saat saya acara kelulusan siswa di SMP Surabaya tempat saya pernah mengajar. Acara formal di sekolah elit, pakai jas wajib! Meski sudah bekerja, belum ada keharusan beli jas. Jurus andalan: pinjam! Syukurnya ada rekan guru yang berada, punya jas lebih dari satu. Lagi-lagi posturnya tidak jauh dari saya. Dapat pinjaman lagi.

Ketiga, 2018. Di tempat kerja terkini, sebuah SD swasta di Salatiga. Waktu itu sekolah kami diakreditasi. Dalam salah satu aspek penilaian, sang asesor perlu menilai kompetensi guru di dalam kelas. Atas nama kerapian, kami harus pakai jas. Serius, sampai titik ini saya tak berhasrat beli jas. Aslinya sempit kantong.

Ada rekan guru senior punya jas lebih dari satu. Dengan murah hati, dipinjamkannya salah satu ke saya. Beginilah hidup ekonomis, walau tak selalu punya selalu ada yang berderma.

Kalau bisa pinjam, ngapain beli?

Awal 2020, hal per-jas-an serasa tiada henti. Anda yang sudah menikah, tahu arah omongan saya. Idealisme saya tegas, "Harus buat jas, supaya ada kenangannya. Bangga punya jas pernikahan." Namun realita berteriak lebih lantang, "Tidak cukup duit." Di situ saya mulai sedih.

Ibarat pelangi sehabis hujan, tetiba ada beberapa kakak rohani yang menawarkan pinjaman sampai memberi sukarela karena "Cuma dipakai sekali." Di balik kemurahan hati mereka, terselip pesan "Barang mahal hanya sekali pakai adalah pemborosan." Jadi, saya harus memperhitungkan masak betul, kalau bikin jas keterpakaiannya harus lebih dari sekali.

Rupanya, setelah diskusi dengan calon, memadupadankan bahan kebaya yang sudah lebih dulu dibeli, saya yang beradaptasi. Warna jas yang ditawarkan kakak itu beda dengan minat kami. Singkat cerita, saya survei. Kalau dapat harga, bahan dan penjahit yang OK, buat. Kalau tidak, pikirkan ulang tawaran kakak itu.

Berikut sekalian saya bagikan pengalaman mencari penjahit dan bahan jas.

Di penjahit langganan saya, ongkos jahitnya dibanderol Rp. 250.000,00. Wah, murah sekali! Namun beliau bukan spesialis jas, bukan tak percaya, tapi daripada salah ekspektasi nantinya.

Dari Instagram saya dapat penjahit jas berkantor di Solo. Dari tampilan gambar dan video, saya tahu kualifikasinya. Testimoninya positif. Satu stel harganya Rp. 1.500.000,00. Dibandingkan pengalaman teman yang sudah duluan menikah, angka itu terjangkau.

Kakak rohani yang lain merekomendasikan penjahit di Salatiga, yang ternyata di kompleks belakang gedung sekolah. Didapatkan data: Ongkos Rp. 750.000,00, bahan Rp. 200.000,00/ meter dikali tiga. Total Rp. 1.350.000, 00. Lebih terjangkau. Ambil keputusan? Nanti dulu.

Banyak bertanya banyak tahu. Ada penjahit kawakan di dekat pasar, referensi mak-mak di kantor. Ongkos jahit Rp. 750.000,00 (lebih mahal, mungkin karena sudah punya nama), bahannya standar untuk satu stel, total biaya Rp. 1.300.000,00.

Di toko kain cukup besar di Salatiga saya ajak ibu survei. Setelah memilih dan pilah, dapat bahan cukup bermerek. Hanya Rp. 150.000,00/meter! Wah, gini lho fungsinya survei. Jadi tahu perbandingan harga. "Kalau mau jahit sekalian di sini juga bisa, mas", terang cicinya, mungkin anak pemilik. Ongkosnya lebih murah, Rp. 500.000,00. Jadi satu stel hanya Rp. 950.000,00.

Anda percaya ada jas kustom seharga di bawah 1 juta?

Syukurnya, waktu survei ke toko itu ada contoh jas yang sudah jadi. Sepintas, saya lihat jahitan rapi. Setelah mendoakan dan bertanya dan "berdebat", saya buat di toko itu. Dengan menambah 0,75 meter kain, bahkan dapat rompi sekalian. Asyik!

Begitulah keseruan saya tentang jas. Salam,

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Beauty Selengkapnya
Lihat Beauty Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun