Mohon tunggu...
Kris Wantoro Sumbayak
Kris Wantoro Sumbayak Mohon Tunggu... Guru - Pengamat dan komentator pendidikan, tertarik pada sosbud dan humaniora

dewantoro8id.wordpress.com • Fall seven times, raise up thousand times.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Hidup Tak Menyombong ala Pohon Singkong

14 Juli 2020   00:28 Diperbarui: 15 Juli 2020   09:18 1363
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pohon singkong, foto: KRIS WANTORO

Singkong diidentifikasikan miskin, ndeso dan tertinggal. Terlampau timpang jika didudukkan dengan keju, produk barat. Waktu bergulir. Sekarang, di Indonesia bisa jadi singkong lebih populer dibanding keju.

Singkong (Latin: Manihot esculenta) dikenal juga bernama ketela, ubi pohon. Meski sering dilirik sebelah mata, dia banyak manfaat. Sarat filosofi. Terlebih di tengah dinamika peradaban yang sering tak siap kita sadari dan terima, hidup tak menyombong (sederhana) ala pohon singkong adalah perlu.

Semua bagian berguna. Umbinya, sumber karhobidrat. Kulitnya untuk pakan ternak. Para peneliti terus berinovasi membuat plastik organik dari ampas pati singkong. Daunnya diolah jadi sayuran. 

Di Jawa, bisa jadi rolade. Bukan dilafal "roled" ya, guys. Ro-la-de. Rebusan daun singkong yang dibumbui lalu dibalut adonan tepung. Baru digoreng, disantap di musim hujan, diadu cabe, minumnya teh hangat. Aduhai...

Pengalaman waktu saya kecil. Jika lari-larian lalu jatuh dan kulit lecet, ibu segera menumbuk daun singkong muda, dioleskan di bagian luka. Sedikit perih di awal, tapi segera adem dan cepat kering.

Baca juga: Pengalamanku dengan Kantong Plastik: Diomel sampai Diketawain

Asal dilempar pasti tumbuh. Receh. Betulkah begitu? Relatif. Kalau dilempar di tanah gembur, bisa jadi. Lain kisah jika dilempar ke muka tetangga, hehe... Artinya, tidak perlu perlakuan khusus nan ribet untuk menanam singkong. 

Batangnya (Jawa: dhangkel) rata-rata panjangnya tiga meter. Bisa dipotong jadi ukuran 20 cm, kemudian ditanam di tanah gembur. Dengan mudah tumbuh jadi pohon baru.

Dhangkel, foto: KRIS WANTORO
Dhangkel, foto: KRIS WANTORO

Mudah ditanam, banyak dicari. Ini sebab harga singkong relatif stabil. Meski banyak yang memburu, produsennya juga banyak. Tak tahu nanti jika ada profesor yang mengklaim singkong bisa mencegah Corona. Lho, tapi jangan salah. Tak perlu menunggu profesor kok...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun