Mohon tunggu...
Wans Sabang
Wans Sabang Mohon Tunggu... Administrasi - anak hilang

Jejak Literasi: Puisi-puisinya pernah dimuat di Koran Sastra Dinamika (Lampung), Radar Bekasi (Bekasi), Buletin Jejak (Majalah Sastra, Bekasi), Buletin Kanal (Majalah Sastra, Semarang) dan Linikini (Tayangan Macro Ad di Commuterline), Koran Jawa Pos dan Koran Tempo.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bang Faisal yang Saya Kenal

23 Maret 2012   02:07 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:36 236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13330265511936617448

Perkenalan pertama saya dengan Faisal Basri dan teman-teman LSM, para jurnalis serta teman-teman aktivis lainnya, adalah ketika Faisal Basri dkk membidani lahirnya MARA atau Majelis Amanat Rakyat di Pejompongan, Jakarta Pusat. MARA adalah sebuah lembaga NGO yang lahir pada era reformasi sebelum runtuhnya rezim Soeharto. Dari diskusi ke diskusi, seminar ke seminar serta aksi turun ke jalan "demo damai". Penampilan yang sederhana dan bersahaja dan tak lupa tas ransel yang selalu ada di punggungnya. Layaknya seorang mahasiswa, Faisal Basri turun dari ke bis ke bis untuk memenuhi undangan sebagai seorang ekonom menjadi pembicara seminar. Penampilannya yang low profile, beruntung saya pernah kenal sosok Faisal Basri yang kemudian dengan akrab saya panggil ; Abang. "Bang, biar saya yang bawa tas ranselnya?." Pinta saya kepada Bang Faisal ketika bersama beliau, berdiri diatas bis umum ketika menuju ke arah Hotel Indonesia di Jalan Thamrin. Berat sekali tas ranselnya. Pasti banyak sekali buku-buku didalamnya, Pikirku.  Benar-benar "kutu buku" orang ini!, Jidatnya saja lebar menandakan kecerdasan orang ini. Karena waktu yang sudah 'mepet. Dengan tergesa, aku dan Bang Faisal memasuki loby HI. Celingak-celinguk sesaat, sebelum menuju ruang seminar. "Wah, sebentar lagi session saya!." Sahut Bang Faisal. Aku hanya mengiyakan saja. Sambil melihat jam tangannya. "Masih ada waktu... coba kamu tanya sama petugas hotel, dimana mushola?." Aku pun bergegas menemui petugas hotel. "Waduh, Bang... mushola nya 'gak ada dilantai ini." Sahutku pada Bang Faisal. "Dimana sajalah, yang penting layak buat tempat sholat." Aku pun berfikir sebentar. Mata Bang Faisal dan aku tertumbuk kepada sebuah pintu dapur ruang seminar. Kami pun bergegas menuju ke dapur. "Pak, numpang sholat ya di sini." Sahut Bang Faisal kepada seorang petugas hotel sambil menunjuk ke sudut dapur itu. "Waduh, ma'af  Pak, berantakan disini... malah 'gak ada sejadahnya lagi." Jawab petugas hotel. Bang Faisal dengan sigap membuka tas ranselnya yang terus saja ku bawa. Meletakkan koran dilantai dapur. "Kamu sudah sholat?." Tanya Bang Faisal. "Belum, Bang!." "Karena tempatnya sempit, Saya saja dulu yang sholat... nanti baru kamu." "Iya, Bang." Bang Faisal menuju keran air yang ada di dapur lalu mengambil wudhu. Di atas bentangan koran, Bang Faisal pun sholat. Ketika Bang Faisal sholat, aku pun sempat berfikir. Dalam waktu yang sempit dan tempat yang apa adanya itu, Bang Faisal lebih mementingkan untuk me"mantas"kan dirinya di hadapan Tuhan, sebelum dia me"mantas"kan dirinya  di hadapan manusia. Seminar berjalan sukses, Bang Faisal membicarakan keterpurukan ekonomi nasional saat itu. Di bangku belakang, aku khidmat mendengarkan sang ekonom berbicara. "Bang, kapan ya krisis di kita ini berakhir?." Tanyaku di dalam bis ketika kami  arah pulang dari Jalan Thamrin ke H. Nawi, Jakarta Selatan. Berfikir sebentar, lalu Bang Faisal menjawab. "Kalau saja bapak-bapak kita (para pejabat, maksudnya) serius menangani krisis ini.... (berfikir lagi, kemudian bertanya kepadaku) Kamu tahu maksudnya "serius" ? Aku diam memeperhatikan penjelasan Bang Faisal. "Serius itu artinya bersungguh-sungguh!." "Jadi maksudnya, Bang, bapak-bapak kita 'gak serius?." "Ya itulah masalahnya, Kalau mereka serius saja dibutuhkan waktu beberapa tahun untuk bangkit dari krisis, apalagi 'gak serius." Jelas Bang Faisal. Sambil menikmati jalannya bis yang seperti keong. aku melihat keprihatinan yang  dalam dari wajah Bang Faisal. Bang Faisal pun menundukkan muka, menerawang sendiri. Sepanjang perjalanan kami pun sama-sama diam, tenggelam dalam "keprihatinan" nya masing-masing. (WS@GJL, 230312) Keterangan Gambar : Diambil dari link ; http://bola.vivanews.com/news/read/81900-sambil_tutup_mata__ekonomi_ri_bisa_tumbuh_5_

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun