Mohon tunggu...
Wahyu Aning Tias
Wahyu Aning Tias Mohon Tunggu... Freelancer - orang biasa yang menulis karena kepengen

Terimakasih Marx, Kafka, Dostoyevski, Chekov, Camus, Murakami, Coelho, Rumi Dari kalian mengalir kefasihan bertutur dan kebijaksanaan dalam diam

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Tragedi Hujan

27 Maret 2021   09:08 Diperbarui: 28 Maret 2021   19:59 908
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi via pixabay.com

Sekejap kemudian suasana jadi gelap gulita seperti mati lampu saat malam hari hujan di kampungku. Aneh sekali. Tetapi rasanya begitu nyaman, begitu ringan. 

Aku belum pernah merasa sensasi seperti ini, ingatanku tentang kehidupan yang begitu melelahkan terasa tidak ada artinya sama sekali. Aku bahkan bisa mengingat saat ibuku melahirkanku ke dunia, aku melihat semua orang tersenyum padaku. Aku juga mengingat rasa air susu ibuku, manis dan hangat mengalir di kerongkonganku yang rapuh. 

Aku melihat diriku sendiri mengenakan seragam sekolah untuk pertama kali. Aku melihat diriku yang belajar menyeberang jalan raya untuk pertama kali. Aku juga melihat diriku yang berlari ke kamar mandi untuk menenangkan diri setelah gadis pujaanku menolakku mentah-mentah. 

Semua ingatan berjalan dengan cepat di depan mataku, semuanya terjadi begitu cepat dan kepalaku terasa mampu menerima semua perjalanannya dengan penuh kesadaran. Suka dan duka jadi tidak ada artinya, seperti satu halaman dalam buku tebal. Tuhan, apa yang terjadi? Aku merasa terlalu tenang disini. Tapi, tidak mengapa, aku ingin selamanya seperti ini saja.

***

Sirine meraung-raung dari kejauhan. Petugas berseragam jingga sibuk dengan gergaji mesinnya. Mereka memotong-motong pohon raksasa yang tumbang menjadi potongan-potongan yang lebih kecil agar bisa dipindahkan dengan mudah. Polisi sudah sigap dengan rompi hijau terangnya di bawah guyuran hujan mengatur lalu-lintas kendaraan agar tidak menimbulkan kemacetan.

Seorang anak kecil memeluk ibunya ketakutan. Sang ibu juga demikian, dia berusaha menenangkan anaknya yang histeris ketika pohon besar itu tumbang tepat diatas kepala pemuda itu. Meski mereka berdua sama-sama ketakutan, tetapi naluri keibuan mendorongnya untuk kuat, karena ada seseorang yang lebih membutuhkan perlindungannya saat ini.

Seorang wanita tampak histeris, dia tidak mau berhenti menangis dan menjerit, seperti baru saja melihat hal yang paling menakutkan dalam hidupnya. Beberapa orang berusaha untuk menenangkannya ketika dia akhirnya tidak sadarkan diri dan dibopong ke ambulans.

Sementara pria itu tak henti-hentinya berkomat-kamit mengucapkan kalimat tahlil. Dia seakan tidak percaya akan apa yang dia lihat hari ini. Dia hanya ingin pulang ke rumah dan terpaksa berteduh karena hujan badai tidak mungkin dilewatinya, lalu pemuda itu muncul dari arah berlawanan dan tersenyum padanya sebelum akhirnya pohon besar tumbang diatasnya. Dialah yang pertama kali langsung menelepon ambulans dan polisi.

Saat petugas berdatangan, justru dia tidak diperbolehkan ikut menolong. Akhirnya dia hanya mampu berdiri di luar garis penjagaan, di tengah guyuran hujan dengan perasaan yang berkecamuk.

Tidak jauh dari tempatnya berdiri, tampak seorang wartawan tengah melakukan liputan langsung upaya evakuasi oleh petugas. Dia tidak ada disana sejak awal, maka raut wajahnya lebih nampak berseri-seri daripada merasa ketakutan dan cemas. Namun, suasana berubah saat petugas akhirnya mengangkat potongan terakhir kayu yang berada tepat diatas tubuh pemuda itu. Semua orang terdiam...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun