Mohon tunggu...
Wahyu Aning Tias
Wahyu Aning Tias Mohon Tunggu... Freelancer - orang biasa yang menulis karena kepengen

Terimakasih Marx, Kafka, Dostoyevski, Chekov, Camus, Murakami, Coelho, Rumi Dari kalian mengalir kefasihan bertutur dan kebijaksanaan dalam diam

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Tragedi Hujan

27 Maret 2021   09:08 Diperbarui: 28 Maret 2021   19:59 908
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi via pixabay.com

"Nggak. Mataku kemasukan debu."

Lalu seperti mendapatkan kekuatan entah darimana, dia kembali ceria dan mengajakku membicarakan hal lain. Aku juga tidak punya pilihan untuk mengikuti pilihannya. Memangya aku punya pilihan lain?

Iya, aku yang selalu sendirian ini, lupa, aku pernah tidak sendirian. Aku pernah memiliki seseorang yang baik padaku dan menerimaku apa adanya. Aku terlalu sombong dengan kesendirianku.

Tapi, nyatanya aku sendirian lagi sekarang, nasib buruk telah merenggut persahabatan kami. Ketika suatu hari, dia sudah tidak lagi duduk di bangku sebelahku. Dan tidak ada seorangpun yang berani duduk di bangku itu lagi. Aku kesepian, sekali lagi.

"Kenapa kamu lebih memilih mati? Apakah berteman denganku sama menyedihkannya dengan kehidupan yang engkau jalani selama ini, sehingga dirimu sudah tidak lagi punya pilihan."

Kataku di hadapan haribaannya yang masih tercium aroma wangi bunga. Semua orang berduka, akupun berduka. Namun, diam-diam aku iri padanya, aku tak akan seberani itu untuk mengakhiri hidupku yang sama sepinya seperti mati. Aku takut mati, tidak seperti dia yang dengan gagah berani menelan semua rasa pahit kehidupan dalam satu waktu. Tidak ada darah, dia juga tidak tersenyum. Pada akhirnya, kupikir dia tidak bahagia menghadapi kematiannya dan aku bersyukur karena aku masih memiliki rasa takut terhadap kematian. 

Meskipun demikian, dia temanku yang pernah kumiliki, teman yang aku tak mengira akan sedemikian rapuh, aku tidak bisa membuatnya mengurungkan niat untuk mengakhiri hidupnya dengan tragis. Dia orang yang menyenangkan, dia sangat pandai menyembunyikan kepahitan dalam hidupnya dan membungkusnya dengan senyuman. Kalau dipikir lagi, dia juga anak yang populer di kalangan guru dan siswa, aku juga tidak pernah menanyakan kenapa dia hanya mau berteman denganku. Bagiku, dia bisa kapan saja meninggalkanku, jadi aku tidak ingin menanyakan hal yang mungkin akan membuatnya tersinggung.

Payung polkadot, yang kini ada di genggaman tanganku. Aku hendak mengembalikan pada pemiliknya. Mungkin aku akan punya teman, anak kecil itu misalnya. Kita bisa main bersama di taman bermain, membeli gula-gula kapas, makan es krim, berenang, atau apapun terserah dia saja. Aku selalu suka bermain dengan anak-anak. Menurutku mereka adalah makhluk Tuhan yang penuh cinta dan petualangan. Mereka hanya menangis sekali dan tertawa berkali-kali. 

Mereka lugu dan polos, serta selalu membuat orang dewasa luluh dengan keluguan dan kepolosan mereka. Mereka tidak perlu melawak untuk membuat suasana jadi lucu dan menyenangkan. Mereka tidak pernah ambil pusing dengan kesedihan kemarin atau yang baru saja mereka alami. Kadang mereka tetap bisa berlarian meskipun tubuhnya demam. Tidak sepertiku yang selalu menggunakan sakit sebagai masaku untuk tidur seharian di rumah. Hidup sebagai orang dewasa itu melelahkan.

Anak itu melihatku tanpa ekspresi. Dia melihat ke sudut lain sedikit lebih lama, dia melihat sekelebatan bayangan hitam berloncatan. Dia lalu dia menggoyang lengan ibunya yang berteriak panik padaku, dia tidak putus asa dan menunjuk ke sudut yang dilihatnya dan terus menggoyang lengan ibunya.

Aku mengerti jika semua orang tidak suka padaku. Aku sangat mengerti jika kalian tidak ingin mengenalku, baiklah. Setidaknya ijinkan aku berbuat baik sekali saja. Suara gemeretak menjalar ke telingaku, seperti ada frekuensi yang menjalar dengan cepat ke arahku. Sedetik kemudian, aku mendengar suara dentuman yang sangat keras.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun