Mohon tunggu...
Wahyu Aning Tias
Wahyu Aning Tias Mohon Tunggu... Freelancer - orang biasa yang menulis karena kepengen

Terimakasih Marx, Kafka, Dostoyevski, Chekov, Camus, Murakami, Coelho, Rumi Dari kalian mengalir kefasihan bertutur dan kebijaksanaan dalam diam

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Tragedi Hujan

27 Maret 2021   09:08 Diperbarui: 28 Maret 2021   19:59 908
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi via pixabay.com

Sepatuku juga tidak terlalu bagus, padahal orangtuaku juga tidak tergolong orang miskin, meskipun hanya pegawai negeri sipil dengan gaji tidak seberapa, tetapi tidak ada seorangpun yang berani menyebut keluargaku miskin, bahkan kedua orangtuaku.

Tetapi aku tidak berdaya setiap kali memprotes penampilanku yang buruk ketika di sekolah karena tidak memiliki seragam yang baru atau sekedar kaos kaki yang pantas dikenakan, mereka sudah bersusah payah untuk membesarkan dan menyekolahkanku. Jika orangtuaku marah, mereka pasti mengungkit hal itu untuk membuatku berhenti meminta. Dan aku juga seringkali ketakutan jika mendengarnya, bahkan sampai aku setua seperti sekarang.

Wanita itu, dia berteriak padaku, ternyata wajahnya lumayan cantik. Kulitnya putih bersih, kacamata yang bertengger diatas hidungnya membuatnya terlihat pintar dan anggun.

"Lariii!!!"

Aku samar mendengar suara teriakannya. Aku jadi teringat dengan seseorang yang kukenal baik, dia selalu memberiku semangat saat apapun itu.

"Ayo kita lari sama-sama..."

"Tapi, kakiku habis cedera. Aku takkan kuat mengikutimu."

"Aku yang akan mengikutimu." Katanya sambil tersenyum. "Kan, tadi sudah kubilang kita lari sama-sama."

Kami selalu bersama sejak saat itu. Bisa dikatakan dialah satu-satunya temanku. Sebenarnya aku juga tidak terlalu membutuhkan teman, apalagi banyak diantara teman kami yang mencibir kebersamaan kami. Mereka memang tampak baik-baik saja kalau di depan kami. Akan tetapi, tidak demikian ketika mereka berbicara di belakang. Kata-kata mereka begitu pedas dan menusuk.

"Kamu menangis?"

Dia menggeleng pelan, lalu mendongak dan tersenyum kearahku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun