Mohon tunggu...
Wangga Ramadessela
Wangga Ramadessela Mohon Tunggu... Jurnalis - Mahasiswa Ilmu Komunikasi

freelance

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Instagram Membentuk Hiperrealitas dalam Masyarakat

24 Desember 2020   16:56 Diperbarui: 24 Desember 2020   17:00 428
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Media sosial merupakan ruang terbaik dalam terbentuknya hiperrealitas. Hiperrealitas sendiri merupakan efek dari media sosial yang mana semakin berkurangnya tingkat kedekatan individu dengan dunia nyata dan memercayai dunia maya sebagai realitas sebenarnya.

Media bukan lagi sebuah cerminan kehidupan namun sudah berganti menjadi kenyataan. Bahkan sesuatu yang terjadi di media terlihat lebih nyata dibanding kenyataan itu sendiri. Hiperrealitas ini terbentuk dari media sosial yang dapat mempresentasikan hiperrealitas menjadi palsu. Seperti contoh dalam media sosial Instagram. Instagram telah menjadi candu penggunanya dalam kehidupan sehari hari. Pengguna Instagram mengunggah konten seperti foto, video, instastory dan konten konten lainnya yang seringnya berbalik dengan realitas.


Media sosial Instagram ini merupakan media yang paling diminati oleh masyarakat Indonesia. Menurut data yang dirilis oleh Napoleon Cat pada Januari – Mei 2020, pengguna Instagram mencapai 69,2 juta pengguna. Pengguna Instagram di Indonesia ini lebih banyak pengguna dengan usia produktif yaitu rentang usia 18 – 34 tahun yang mendominasi hingga 25 juta pengguna. Usia 18 – 24 tahun memiliki representase (36% – 38%) sementara pada usia 25 – 34 tahun representasenya lebih rendah yaitu (31% - 33% ).

Dalam usia produktif tersebut mereka menghabiskan waktu untuk membagikan konten yang mereka buat dan terbentuknya hiperrealitas. Seseorang menampilkan hal terbaik yang mereka punya untuk dibagikan di Instagram. Tampilan seseorang dalam Instagram belum tentu sama dengan tampilan sebenarnya, namun sebagian orang mengonsumsi tampilan orang lain dalam Instagram seperti melihat realita yang ada padahal tidak. Pengguna Instagram berlomba lomba menampilkan versi terbaik mereka seperti menggunakan pakaian bagus dan mahal, terlihat cantik, terlihat tampan atau bahkan terlihat kaya. Hal tersebut menjadi gambaran yang melambangkan eksistensi dan kelas sosial masyarakat.

Beberapa orang memaksakan dirinya agar terlihat sama dengan pengguna Instagram lain dalam akun instagramnya. Mereka memaksakan menggunakan pakaian bagus dan mahal, terlihat elegan dan juga cantik namun nyatanya semua itu tidak terjadi dalam dunia nyata. Budaya seperti itu akan terus menular dan menjadikan masyarakat candu akan dunia maya dan menjadi hiperrealitas. Hal tersebut menjadi buruk karena akan menghilangkan kebudayaan sederhana yang ada dalam masyarakat kita. Media sosial yang awalnya baik dan mememberi banyak manfaat akan berkurang fungsinya karena masyarakat mencoba memaknai media sosial dengan hal yang berbeda.

Ketika seseorang membagikan sisi terbaik mereka di media sosial khususnya Instagram, maka mereka secara tidak langsung telah mengkonstruksikan orang lain untuk memiliki pemikiran yang sama. Kondisi pelaku yang membagikan sisi terbaik mereka dalam Instagram belum tentu sama dengan kenyataannya. Hal tersebut dapat dikatakan bahwa realita sebenarnya telah runtuh dan simulasi membuat realitas menjadi kabur. Hiperrealitas ini menyebabkan terjadinya pengaburan kelas sosial yang dampaknya adalah menyebabkan ketidak jelasan status seseorang yang ditampilkan dalam media sosial.

Teori hiperrealitas ini telah dijelaskan oleh Jean Baudrillard, dikatakan bahwasannya hiperrealitas yaitu kaburnya perbedaan antara realitas dan tanda yang mana manusia hidup dalam simulasi. Jika seseorang terus menerus berada pada hiperrealitas ini akan membahayakan. Karena nantinya mereka akan sangat sulit untuk membedakan kehidupan nyata dan kehidupan maya. Sudah seharusnya seseorang membatasi dirinya untuk tidak terjerumus pada dunia maya secara berlebihan. Terlebih dalam media sosial yang dapat membentuk hiperrealitas. Membatasi diri dan juga berhati hati dalam menggunakan media sosial adalah kunci agar tidak masuk kedalam hiperrealitas, karena hiperrealitas ini diciptakan oleh diri sendiri.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun