Mohon tunggu...
Erfen Gustiawan Suwangto
Erfen Gustiawan Suwangto Mohon Tunggu... -

Tenaga medis, staf pengajar hukum kedokteran, aktivis medis

Selanjutnya

Tutup

Politik

1 Juni 2014: Refleksi sebelum Pemilihan Presiden

31 Mei 2014   14:33 Diperbarui: 23 Juni 2015   21:54 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Menyambut pemilihan presiden yang akan melewati Hari Pancasila 1 Juni terlebih dahulu, maka menarik bagi kita untuk sedikit melakukan refleksi sebagai sebuah bangsa tentang arti dari Pancasila. Seberapa penting Pancasila bagi kedua calon presiden kita? Dan seberapa mendalam pemahaman mereka? Seberapa pula kemampuan mereka dalam mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila yang telah menjadi ideologi sekaligus perekat bangsa ini? Jawabannya tentu ada dalam sanubari masing-masing kandidat. Namun, jejak rekamnya dapat dilihat, apakah yang bersangkutan adalah manusia Pancasilais atau tidak.
Bagi masyarakat kita pada umumnya pun, Hari Pancasila 1 Juni seringkali dianggap kurang begitu penting daripada Hari Kemerdekaan 17 Agustus. Padahal tanpa Pancasila, maka republik ini tak akan terbentuk. Soekarno mengatakan bahwa ia bukanlah pencetus Pancasila, namun ia hanyalah penggali dari nilai Pancasila itu sendiri. Karena nilai Pancasila itu sudah ada sejak zaman nenek moyang bangsa Indonesia, terpenting saat di era Sriwijaya dan Majapahit, yaitu gotong royong. Gotong royong itulah yang menjadi saripati dari kelima sila yang ada. Gotong royong itulah yang membuat bangsa ini merdeka. Dari gotong royong inilah muncul poin:
A. Persatuan sebagai perekat bangsa yang berbeda ini
B. Kemanusiaan sebagai nilai luhurnya
C. Musyawarah mufakat (bukan voting) supaya mayoritas tak menindas minoritas atau sebaliknya
D. Keadilan sosial sebagai tujuan luhurnya
E. Ketuhanan sebagai landasan yang tak dapat ditampik dalam keseharian masyarakat Indonesia (walau agama tidak bisa menjadi pemersatu bangsa sehingga cukuplah hanya urusan manusia Indonesia dan Tuhan).
Gotong royong ini terjadi sejak purbakala. Bahkan etnis Tionghoa yang sering dianggap kurang berperan dalam kemerdekaan republik, sesungguhnya justru membuat perhimpunan pertama yang akhirnya juga mengilhami berdirinya Boedi Oetomo sebagai tonggak pergerakan nasional. Kemerdekaan bangsa ini memang dari gotong royong segenap rakyat. Para raja dan sultan di daerah-daerah, merelakan untuk bersatu di bawah naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bahkan ulama-ulama merelakan untuk menghapus sambungan kalimat "dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya" pada sila pertama sebagai bentuk toleransi terhadap saudara nonmuslim yang berada di timur. Jadi, Pancasila telah final dan harga mati. Ini telah menjadi pondasi yang tak bisa lagi diutak-atik. Karena sudah menjadi kesepakatan abadi bagi negara yang dinamakan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Negara Indonesia ini adalah sintesis dari antitesis berupa perlawanan-perlawanan lokal yang belum mampu mengusir penjajah di masa sebelum Pancasila dikemukakan kembali oleh Bung Karno.
Namun, Pancasila mulai diragukan kebenarannya. Oleh karena ketidakadilan, misalkan dalam bidang ekonomi seperti sekarang. Apakah ini kesalahan dari suatu ideologi yang dinamakan Pancasila? Tentu saja tidak. Liberalisme yang sedang terjadi di negeri ini, justru bukan nilai Pancasila. Justru Pancasila adalah sintesis yang menjadi jalan tengah antara kekuatan liberal dengan kekuatan komunis. Bung Karno bahkan pernah mengusulkan Pancasila sebagai pengganti Piagam PBB. Oleh karena, ia yakin bahwa Pancasila mampu mengisi kekurangan dari kedua ideologi tersebut.
Ada apa dengan paham liberal, dan ada apa pula dengan paham komunis? Mengapa keduanya dibenci di negeri ini? Padahal keduanya hanyalah ideologi yang sebenarnya bertujuan baik. Bahkan negara-negara maju masih banyak yang menerapkan kedua paham tersebut. Politisasi di zaman Orde Baru memang membuat kita mengalami miskonsepsi tentang kedua paham tersebut, apalagi terhadap paham komunis yang selalu ditonjolkan sisi ateismenya saja, padahal tidak.
Hanya saja kedua paham besar ini tentu saling mengorbankan satu sama lain. Karena liberalisme akan mengorbankan kaum buruh (yang sekarang diperhalus dengan sebutan karyawan). Sedangkan komunisme akan mengorbankan kaum pengusaha yang memiliki modal. Bagi Pancasila, keduanya harus ditengahi. Pancasila juga harus memfasilitasi kaum agamis yang tak dapat ditampik keberadaannya di Indonesia sejak dulu kala. Oleh karena itu, Pancasila adalah penengah dari itu semua. Karena Pancasila sudah sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat Indonesia sampai detik ini.
Terkait sekarang telah terjadi penyelewengan Pancasila yang membuat rakyat tak dapat menikmati nilai-nilai Pancasila, itu tentu bukan menjadi alasan untuk mengganti dasar negara kita ini. Sah-sah saja bagi yang tidak puas dengan Pancasila, tetapi dipersilakan untuk menjadi warga negara lain jika memang tak setuju lagi dengan Pancasila.
Lalu timbul pertanyaan, "Mengapa harus diminta keluar dari negara ini? Bukankah Pancasila justru harus memfasilitasi perbedaan, termasuk yang ingin mengganti dasar negara?"

Jawabannya, "Mereka yang ingin mengganti dasar negara, bukan berbeda, tetapi sudah tergolong pengkhianat. Oleh karena melanggar kesepakatan ketika negara ini resmi berdiri. Sehingga janganlah mengutak-atik sejarah, termasuk dasar negara. Jalanilah kewajiban sebagai warga negara Indonesia yang baik, walau pahit sekalipun tetaplah optimis. "
Selamat Hari Pancasila 1 Juni 2014. Pilihlah presiden yang Pancasilais yang mampu kembali menerapkan Pancasila secara murni sehingga negara memberikan yang terbaik bagi rakyat. Pada gilirannya, rakyat juga akan memberi yang terbaik untuk negara. Bagaimana mengharapkan loyalitas rakyat terhadap negara jika negara saja mengecewakan mereka? Bagaimana rakyat bisa menjalankan kewajibannya bagi negara jika pemimpinnya saja korupsi? Sungguh gampang meminta rakyat mengabdi, namun dunia nyata bagi rakyat kecil tak selalu mudah dijalani. Terutama bagi mereka yang perutnya masih kelaparan.
Oleh: dr. Erfen Gustiawan Suwangto (Staf Etika dan Hukum Fakultas Kedokteran Unika Atma Jaya/Center of Strategic of Indonesian Health, Population, and Pharmaceutical)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun