Mohon tunggu...
Putra adijaya
Putra adijaya Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Harapan Kecilku

5 Mei 2019   19:00 Diperbarui: 5 Mei 2019   19:05 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

ini tahun ajaran baru dimulai. Semua pelosok penjuru telah bersiap-siap melangkah untuk bersekolah kembali, berbeda halnya denganku dengan langkah terseok-seok seakan tak mampu lagi untuk melangkah mencari sedikit pertolongan mengaitkan selehai keberanian untuk meneruskan langkah kaki yang tidak pasti ini. SEKOLAH? aku sering membayangkan layakkah gadis kecil dekil dan kotor seperti diriku ini untuk bersekolah. Aku ingin sekolah bemain bersama teman mengukir kenangan Indah yang tercipta, pasti menyenangkan.

Aku memikirkan diriku adakah seorang yang berhati malaikat membantuku. Paling tidak untuk memupuh diri ini yang terkulai lemah. Aku menangis memperhatikan dari kejauhan sebuah sekolah dasar yang penuh dengan siswa dan siswi serta para orangtua menemani anaknya.

Tangis dengan tawa bercampur menjadi satu suatu kesatuan yang tak satu namun berusaha disatukan. Percuma aku menangis karena aku menangis berapa banyak pun airmataku tetap diam. Kemudian aku memilih untuk beranjak agar luka ini tidak tergores lagi.

Aku berjalan menikmati udara pagi meski suara bisingan kendaraan mengatup tak beraturan terdengar begitu menggema. Aktivitas rutinitas ibukota memang selalu menjadi idaman yang biasa terjadi. Mengingat kota metropolitan. Kota yang dengan penduduk begitu padat dan dambaan setiap orang yang datang untuk mengubah nasib tak jarang hal ini hanya sebuah cerita lalu yang pemiliknya lupakan. Tidak semua yang mengunjungi kota impian ini berhasil mendapatkan pekerjaan banyak diantaranya menganggur. Pada akhirnya mengakibatkan pengemis, pengamen juga kejahatan serta kriminalitas yang menggaung tidak dapat berhenti. Bak air mengalir begitulah katanya.

Aku diam menatap keramaian. RAMAI? Aku tidak terlalu suka ramai berada di sini aku merasa terkucilkan. Seolah dunia ini sedang mengejekku yang berjalan seorang diri tanpa ayah dan ibu. Aku berteriak sekeras apapun nyatanya aku sendiri. Aku lelah bekerja menjadi pesuruh demi mengganjal perut kosong. Beginilah aku demi sesuap nasi aku harus mengamen dari bus satu ke bus lainnya. Dengan caraku sendiri aku buat amplop kecil karyaku untuk mengharapkan belas Kasih orang lain. Meniti satu persatu amplop untuk kusetorkan. Diriku terlalu miris untuk diceritakan. aku rasa untuk mencari sedikit kebaikan dari orang lain bisa kulakukan dengan cara begitu kutuliskan harapanku di atas amplop itu untuk berbagi sedih tak terderu yang menghimpun. Paling tidak ada yang mengetahui rasa gundahku. Berharap sedikit rasa ini berkurang.

Saat malam tiba aku tidur beralaskan kardus mengeratkan tubuh akan dingin angin malam menerpaku. Aku aneh, malam kedinginan, siang kepanasan. Andaikan ada kemilau datang membawaku pergi mengikuti jejaknya. Sinar yang amat kunantikan untuk memulai hidup di masa depan. Aku tertidur dalam mimpi.

Pagi tiba, tidak ada yang istimewa di hidupku kegiatan yang kulakukan terus saja berulang setiap harinya. Sebetulnya aku lebih bosan dengan keadaanku.

Aku menangis dengan sekujur tubuh yang Membelenggu hingga akhir tetes deraan air mata tidak dapat tertahankan. Mengaung mencari tempat singgah untuk membekap tubuh ini yang lusuh penuh keluh.

Menjerit sampai jeritan ini hanya mampu aku yang mendengar. Tanpa ada yang merengkuh untuk memberi kekuatan dalam jiwaku. Derit ini membusang akan usang meraba masuk ke dalam kesah. Jiwa ini telah hancur membuih tak bertautan membuat sesak di hati. Kalau kini aku di bawah apa esok aku akan ada di bawah. Aku ingin di atas menggambarkan sesosok manusia lain yang menampilkan wajah senangku atas takdir yang menyatu bersamaku. Lalu apa semua hal itu hanya perumpamaan yang harus segera aku hilangkan dalam ingatanku.

Sebuah tempat bercerita yang baik adalah menulisnya. Aku lelah jika harus memikirkannya. Lalu aku berpijak di lain tempat agar kekosongan yang menghantuiku ikut menghilang. Pikiranku melayang jauh. Aku seakan manusia yang paling teraniyaya. Seharusnya aku bersama sabar agar kelak semua yang aku dambakan akan tercapai.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun