Jerman, seperti juga negara Eropa lainnya ketika itu, tidak siap dan belum berpengalaman dalam menumpas terorisme internasional. Mereka bahkan belum punya pasukan khusus anti teror.Â
Yang diturunkan untuk menangani teror ini adalah polisi biasa di Munchen yang tidak punya pengalaman dalam pertempuran ataupun penyelamatan sandera.
Tentara tidak diturunkan dalam penumpasan teroris ini, karena alasan konstitusional. Ketika itu di Jerman berlaku aturan bahwa pasca perang, angkatan bersenjata tidak  diizinkan beroperasi dalam masa damai.
Penumpasan teroris ini bahkan tidak menggunakan penembak jitu. Polisi yang ditugaskan untuk menembak adalah polisi yang biasa ikut kegiatan kompetisi menembak pada akhir pekan. Padahal kehadiran penembak jitu adalah prinsip mendasar dalam penumpasan terorisme.
Ketidaksiapan lainnya adalah para penembak tidak menggunakan kontak radio untuk mengkoordinasikan tembakan mereka dengan penembak lainnya. Senapan yang digunakan pun tidak memadai, tidak dilengkapi dengan telescopic atau inframerah. Para penembak bahkan tidak menggunakan helm lapis baja atau rompi anti peluru.Â
Juga tidak ada kendaraan lapis baja di airport, saat terjadi baku tembak. Kendaraan lapis baja baru datang setelah diminta, itupun setelah baku tembak sedang berlangsung.
Karena penyanderaan ini disiarkan live, para penyandera juga bisa melihat apa yang terjadi di luar melalui televisi. Ini yang tidak diperhitungkan oleh polisi.
Saat polisi mengendap-endap di atap ingin menembak teroris, sambil menunggu kata sandi, aksinya itu disiarkan live oleh televisi. Sehingga ketika polisi diam-diam bersembunyi di atap, penyandera  bisa melihat langsung taktik polisi ini di televisi. Polisi itu pergi setelah diancam oleh penyandera.
Sekarang ini tak mungkin terjadi pada saat penanganan terorisme, masyarakat diperbolehkan berbondong-bondong ke lokasi untuk menyaksikan bagaimana operasi penumpasan itu dilakukan. Tetapi ketika itu, di luar pagar kompleks hunian atlit banyak massa yang berkumpul, menyaksikan dari dekat ketegangan ini.