Hari Senin, Mitha membuka pintu, “Tahu gosip gak?”
“Apa?” tanya Lilis.
“Suami Sita selingkuh.”
“Ah... Gosip basi,” ujar Nisa.
“Kalian pada tahu?”
Diangguk sama temannya.
“Dia berkali-kali main belakang. Kalau aku akan kuceraikan dia.”
“Ih... Gak semudah itu.”
Mitha menhampiri Lilis, “Jikalau kamu, dia mengkhianatimu terus. Kamu pura-pura gak tahu?”
“Terus memang aku harus gimana?”
“Kamu gak kasih tahu sama Sita?”
“Apa gak salah? Apa? Aku...? Kenapa aku?”
“Kamu kan dekat sama Sita.”
“Iih... Gak deh.” Lilis mentah-mentah menolak.
“Terus, apa kita biarin?” Mitha mengalihkan pandang ke Nisa. “Gimana, Nis?”
“Kayak gak afdol deh. Nanti ada aja orang lain kok yang bocorin. Banyak orang yang sudah tahu. Kita mesti jaga privasi orang.”
“Iya.” Mereka double anggukan.
“Tapi dia salah satu teman kita, Nis...”
Seseorang membuka pintu ruangan kasir.
Mitha tercengang. Lalu berbalik ke lemari, mengoprek-oprek dokumen.
“Kenapa kalian berdua memandangku seperti itu? Seperti lihat setan di pagi bolong. Bicarakan aku di belakangku yah?”
“Agh, enggak,” jawab Mitha.
“Sita, bagaimana penjualan baju kemarin?”
“Beres. Bajumu laku. Nih, Pak Edo titip buatmu.” Sita beri beberapa lembar uang untuk Lilis kemudian keluar ruangan.
“Apa dia dengar?” tanya Mitha kepada Nisa. “Aku rasa enggak kali.”
Kutertipu padamu terus...
Lilis dan Nisa saling memandang satu sama lain. Meja mereka berdempetan.
“Sita sudah tahu.”
“Siapa beritahu dia?” tanya Mitha. “Kabar dimana?”
“FB.”
“Mungkin istri Pak Edo. Dia dekat sama istrinya.”