Mohon tunggu...
Wahyu Fadhli
Wahyu Fadhli Mohon Tunggu... Penulis - Buku, pesta, dan cinta

tulisan lainnya di IG : @w_inisial

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Gunung, Tempat Menguji Kepribadian

13 Februari 2018   20:40 Diperbarui: 13 Februari 2018   20:46 1326
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dokumentasi pribadi

Assalamu'alaikum, selamat malam (karena tulisan ini dibuat pada pukul 18.36), pernenalkan nama saya Wahyu Fadhli, seorang penggiat alam bebas alias seseorang yang suka menghamburkan uang dan waktunya untuk di alam bebas. Tapi jangan sekali-kali menyebut saya sebagai seorang Pecinta Alam, karena saya malu dengan sebutan itu. Disamping naik gunung dan berkegiatan alam bebas lainnya, sehari-hari kegiatan saya adalah duduk didalam ruangan disalah satu Perguruan Tinggi yang ada di Jember. Disana saya kuliah dan mengikuti organisasi intra kampus MAPALA (Mahasiswa Pecinta Alam). Saya ingatkan lagi jangan pernah menuduh saya sebagai seorang Pecinta Alam. Baik, akan saya mulai bercerita mengenai sebuah perjalanan mendaki gunung yang menurut saya bisa di bilang berkesan.

Saat itu, pada tanggal 15 Agustus 2016, saya bersama beberapa kawan berkunjung ke Kota Malang. Bersilaturrahmi dengan beberapa kawan yang memiliki hobi serupa disana. Niat awal saya memang hanya sebatas silaturahmi, namun dalam niat tersebut sudah saya selipkan sebuah angan-angan untuk sekedar menghormati hari lahir Negara Indonesia, yaitu dengan cara melakukan upacara bendera di Puncak Gunung Arjuno. Gunung Arjuno memiliki tinggi 3.339 mdpl dan merupakan salah satu gunung dalam deretan Pegunungan Arjuno-Welirang. Pegunungan ini tercatat sebagai salah satu Pegunungan Vulkanik yang masih aktif, dengan adanya sebuah kawah dengan kandungan belerang yang besar yang ada di Puncak Gunung Welirang. Secara administratif Gunung Arjuno terletak antara Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Mojokerto, dan Kota Batu. Gunung ini memiliki puncak yang bernama Puncak Ogal-Agil. Puncak ini berstruktur bebatuan vulkanik yang tertata seperti sebuah kerucut. Ada beberapa titik masuk pendakian Gunung Arjuno; yaitu jalur Pandaan (yang terletak diatas Taman Safari Prigen-Pasuruan), jalur Purwosari (yang terletak diantara kebun teh Purwosari-Pasuruan, jalur Tretes (yang terletak diatas objek wisata pemandian air panas Tretes-Mojokerto), dan jalur Cangar (terletak di kawasan Kota Wisata Batu). Semua jalur pendakian memilik variasi trek yang ada didalamnya, dan dari kesemuanya itu memiliki tujuan yang sama yaitu ke Puncak Ogal-Agil.

Kenapa saya dan kawan-kawan memilih titik kumpul di Kota Malang, karena pada kali ini kami memilih jalur pendakian via Cangar-Batu. Saya memilih jalur ini, sebab dirasa jalur ini memiliki trek yang tidak terlalu panjang, namun konsekuensinya adalah jalur ini memiliki medan yang cukup menanjak. Untuk menghadapi trek yang seperti itu, setelah tiba di Malang, kami memutuskun untuk sekedar beristirahat sehari sebelum memulai pendakian. Waktu sehari itu kami gunakan betul-betul untuk memulihkan kondisi fisik dan membeli beberapa logistik yang diperlukan serta melengkapi peralatan yang dibutuhkan.

Tanggal 16 Agustus 2016, pada pukul 09.30, kami berangkat meninggalkan Kota Malang menuju pos pendakian yang berada di daerah Cangar-Batu. Perjalanan menggunakan sepeda motor ditempuh dengan waktu satu setengah jam. Pada pukul 12.00, kami tiba di pos pendakian dan melakukan pendataan selama kurang lebih satu jam. Setelah segala persiapan sebelum pendakian dirasa cukup, saya beserta kawan-kawan mulai melakukan pendakian. Treak awal, para pendaki disuguhi dengan hamparan perkebunan sayuran milik warga sekitar. Dimulai dengan berjalan santai sembari berbincang dengan beberapa petani yang ada disana. Ada seorang petani yang sedikit berbicara mengenai mitos yang ada di Gunung Arjuno. Saat itu, petani tersebut berkata "Kalau lewat sini, mendakinya harus sabar mas. Jangan mengeluh, apalagi sampai dilontarkan dengan omongan. Jika sampai diomongkan, maka pendaki itu akan merasakan apa yang dikeluhkannya selama pendakian. Jika capek, ya ditahan saja". Kurang lebih seperti itu yang dikatakan oleh petani tersebut. 

Karena cukup susah mengingat kejadian yang sudah berlangsung dua tahun lalu. Perjalanan dilanjutkan dengan tetap berjalan santai, sampai pada akhirnya kami memasuki batas perkebunan dengan hutan. Tidak terasa dari pos pendakian hingga batas hutan ini memakan waktu kurang lebih 2 jam dengan berjalan santai. Setelah melewati perkebunan, kami melewati hamparan hutan basah yang cukup panjang. Dikalangan para pendaki, hutan ini disebut sebagai Alas Lali Jiwo. Dinamai demikian, karena mitosnya apabila pendaki yang melewati jalur ini dengan melamun atau membayangkan hal-hal negatif, maka mendadak fikirannya akan kacau. 

Mengingat hal itu, saya kemudian bercerita kepada kawan-kawan, dan seketika itu suasana pendakian menjadi hening. Saya tidak ingat pasti, namun seorang kawan saya sempat membaca beberapa doa ketika melewati Alas Lali Jiwo. Perjalanan menembus Lali Jiwo, dilalui selama 1,5 jam, kemudian pendaki akan tiba di Pos Watu Gede. Pada pos ini, ada peralihan struktur hutan, yang semula hutan basah, menjadi hutan homogen yang dipenuhi dengan tumbuhan rambat beberapa cemara.

Pada pos ini, kami beristirahat sejenak untuk mengistirahatkan kaki dan fikiran setelah tadi dikoyak oleh Alas Lali Jiwo. Meminum beberapa teguk air, memakan beberapa potong coklat, sembari menikmati hembusan angin yang menjadi dingin. Diselingi oleh guyonan khas anak muda yang harus dibatasi oleh tempat yang tidak biasanya. Seorang pendaki harus menjaga mulutnya ketika melakukan pendakian, karena di alam bebas kita semua tidak akan tahu makhluk apa saja yang menjadi penghuninya. Sepuluh menit berlalu, dan kami melanjutkan perjalanan tanpa meninggalkan apapun kecuali jejak. Senja yang indah disuguhkan oleh Tuhan pada pukul 15.30 di jalur pendakian Gunung Arjuno. Kami menikmatinya dengan penuh syukur dan foto selfie tentunya. 

Dari Pos Watu Gede kita beranjak menuju Pos Watu Tumpuk, dengan suguhan senja beserta luasnya hutan homogen yang harus kami tebas. Saat diperjalanan, ada seorang kawan saya yang tiba-tiba mengeluhkan rasa kantuk yang luar biasa. Mungkin dikarenakan lelah karena harus berjalan dibawah terik, sehingga secara tidak sengaja dia mengeluhkan hal itu kepada kami semua. Serentak, kami kaget, karena ingat dengan sebuah perkataan dari seorang petani di perkebunan tadi. Entah apa yang dikatakan oleh petani tadi hanya sebuah mitos, atau sebuah doa namun saat itu terjadi pada salah satu kawan saya. 

Selama sisa perjalanan menuju Watu Tumpuk, tak henti-hentinya dia menguap yang menandakan dia sedang menahan kantuk yang luar biasa. Matahari sudah mulai tumbang di kaki barat, namun tak kunjung kami temui Pos Watu Tumpuk, sampai pada akhirnya seorang kawanku yang lainnya duduk karena merasa pergelangan kakinya terkilir. Sejenak kami mengambil keputusan beristirahat sejenak, karena pada situasi seperti ini seorang pendaki dituntut untuk berfikir tenang dengan mementingkan keselamatan bersama. Hawa dingin mulai menyapa, dan kami putuskan melanjutkan perjalanan. Selang sejenak, kami tiba di Pos Watu Tumpuk pada pukul 17.30 dengan ketinggian tanah sudah mencapai 2.300 mdpl. 

Dua jam yang terasa begitu lama dengan kehati-hatian yang luar biasa. Di Pos ini terdapat persimpangan langsung yang menuju ke Gunung Arjuno dan Gunung Welirang. Melihat waktu dan kondisi beberapa kawan yang tidak memungkinkan untuk melanjutkan perjalanan, akhirnya kami putuskan untuk camp semalam di Pos Watu Tumpuk. Semua orang sibuk malam itu; mendirikan tenda, memasak, dan mengambil air. Ditemani dengan bulan yang bersinar sempurna, saya seorang diri mengambil air di sumber yang tidak jauh dari lokasi tenda kami. 

Sewaktu mulai mengadahkan botol pada sebuah pancuran air, saya sempat mendengar sebuah suara lolongan hewan. Tidak dapat dipastikan hewan apakah itu, yang jelas hal tersebut membuat saya lebih bergegas. Tidak ada api unggun dan perbincangan hangat malam itu. Dengan kondisi tubuh yang lelah, kami harus lekas beristirahat untuk melanjutkan perjalanan esok hari.

Hari ke-2 tanggal 17 Agustus 2016, pukul 07.00 kami sudah siap memulai perjalanan menuju pos berikutnya. Kondisi tim terlihat baik setelah beristirahat semalam dan kami mulai berjalan dengan bacaan doa yang seirama. Dikawal oleh sejuk pegunungan pagi hari, dan siulan burung yang bermain-main diatas sana. Wilayah hutan yang kami lalui mulai berubah dengan kumpulan pohon cemara yang menjulang. Tak berapa lama berselang, kami melalui jalur yang kanan kirinya dipenuhi dengan lubang-lubang yang mengeluarkan uap panas dari dalam bumi. Terasa segar ketika menyentuh peluh yang sudah keluar. Satu jam setengah berlalu, dan kami sampai pada sebuah lembah yang terhampar luas. Lembah diantara dua puncak Kembar I dan Kembar II. 

Bagi para pendaki, lembah ini bernama Lengkean atau Selangkangan. Sebuah nama yang unik memang, namun itulah kenyataannya, dan silahkan fikirkan sendiri kenapa dinamakan seperti itu. Pos Lengkean, kami gunakan sebagai Basecamp kami, sehingga tenda dan dan barang-barang ditinggal disini untuk selanjutnya, melanjutkan perjalanan Summit Atack. Setelah beristirahat lumayan lama dan mendirikan tenda, pukul 10.00 kami beranjak meninggalkan Lengkean untuk menuju puncak Ogal-Agil. Perjalanan akan kami tempuh selama kurang lebih 4-5 jam. Langkah awal kami ditemani oleh matahari yang berada sejajar dengan ubun-ubun. Melawan terik dan haus, akhirnya kami sampai di Pos Kidang Mati. Sebuah hamparan rumput yang tidak terlalu luas dan terlihat seperti bekas kawah. Kidang Mati merupakan alternatif pilihan untuk dijadikan Basecamp oleh beberapa pendaki, karena jaraknya yang sudah dekat dengan Puncak Ogal-Agil. 

Disini kami menemukan dua orang pendaki lengkap dengan tendanya yang sedang makan siang. Berbagi cerita dan guyonan sejenak, kami pun melanjutkan Summit Attack. Setelah Pos Kidang Mati, trek yang kami lalui sangat menguji mental dan fisik. Keseluruhannya menanjak dengan kemingiran sekitar 45 derajat. Pada Jalur ini kawanku yang terkilir pada pendakian hari pertama kemarin, tiba-tiba menjerit karena merasa sakit dikakinya yang semakin menjadi. Dalam kondisi yang sama lelahnya, yang mental sudah hampir terkuras habis, kami harus pandai berhemat emosi, kami harus saling menjaga, dan kami harus berhenti sejenak. Untuk memberi jeda waktu instirahat dan mengisi perut dengan beberapa potong roti. 15 menit kami beristirahat dan kemudian mendung dengan membawa kabut menyapa kami, terik matahari sudah terhalangi. 

Dengan datangnya angin yang menyusul, kami lanjutkan perjalanan, hingga sampai pada batas vegetasi hutan. Tumbuhan mulai jarang terlihat, dan trek sudah mulai berbatu. Disana, disebuah cekungan, kami disambut oleh gerimis dan iringan petir menggelegar beserta lampu kilatnya. Rombongan kami sempat terpisah menjadi dua, tanpa mengambil resiko saya meminta seorang kawan untuk memanggil rombongan yang ada didepan. Untungnya, mereka yang ada didepan belum terlalu jauh dan segera bisa kembali untuk berkumpul dengan rombongan yang ada dibelakang. 

Bersama-sama kami duduk, dan menengadah dengan kilat yang sudah telihat diujung mata kami. Saat seperti itu tidak ada yang bisa menolong manusia-manusia seperti kami, kecuali Sang Pemilik Alam Raya. Hampir satu jam kami berada dalam posisi yang kurang menguntungkan, sampai akhirnya badai tersebut berhenti namun masih menyisakan gumpalan kabut pekat yang menyelimuti.

Kami melanjutkan perjalanan, dengan sisa-sisa mental dan tenaga pada tubuh kami, dan sampailah kami pada sebuah hamparan tanah lapang yang dipenuhi dengan beberapa prasasti para pendaki yang meninggal saat mendaki Gunung ini. Seluruh manusia merupakah makhluk yang membutuhkan bantuan dalam bentuk apapun. Maka dari itu, kami berhenti sejenak disini kemudian menengadah kepada Tuhan, semoga orang-orang yang menghela nafas terakhirnya disini, bisa hidup dengan tenang di kehidupan yang lain. Selesai berdoa, sejenak kami melihat kelangit yang masih dipenuhi oleh awan mendung. 

Saat itu, beberapa dari kami sudah tidak bisa menghimpun mental lagi, sampai akhirnya kami putuskan untuk menunggu sekita setengah jam. Apabila cuaca tetap seperti ini, kami akan mengalah pada ego kami, yaitu kami akan kembali turun menuju Lengkean. Selang 15 belas menit menunggu, akhirnya cuaca berubah. Mendung sudah terbelah, dan sinar matahari sore telah muncul. 

Tanpa menunggu lagi, kami bergegas melanjutkan perjalanan yang tinggal sedikit lagi menuju Puncak Ogal-Agil. Pada pukul 15.00, ditemani mentari senja di HUT Indonesia, kami berhasil mencium, bersujud, diatas salah satu atap tanah Indonesia. Kami merasa, kami adalah salah satu orag yang beruntung, karena berjalan beringingan dengan maut dan diselamatkan oleh Sang Pencipta maut itu sendiri.

Dan itulah cerita saya yang kemudian merenungi sebuah perjalanan yang dirasa teramat panjang. Dengan melupakan ego tapi tidak melupakan orang lain. Bersama iringan kematian yang selalu menemani perjalanan saya. Salah satu cerita diantara banyak pendakian saya di Indonesia yang mungkin bisa menjadi sebuah gambaran, bahwa naik gunung bukan soal ambil foto narsis kemudian eksis di sosmed. 

Pendakian Gunung adalah soal kita bisa menjadi manusia seutuhnya, kemudian menjadi manusia yang mengenal Tuhannya. Gunung bukan sekedar tempat melepas stress. Gunung adalah tempat untuk menguji mental dan kepribadian seseorang. Dalam keadaan yang jauh dari segala fasilitas, apakah orang itu akan menjadi seorang yang selfis atau orang yang mau memikirkan orang lain.

Selasa, 13 Februari 2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun