Mohon tunggu...
Moh Wahyu Syafiul Mubarok
Moh Wahyu Syafiul Mubarok Mohon Tunggu... Penulis - Part time writer, full time dreamer

No Sacrifices No Victories

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Merayakan Kedaulatan Republik Indonesia

29 Agustus 2022   21:24 Diperbarui: 29 Agustus 2022   21:25 258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto Kompaspedia

Tahun ini, Republik Indonesia telah sampai pada lembaran ke-77 dari buku cerita sebagai bangsa yang merdeka. Masih seumur jagung untuk ukuran sebuah negara, namun telah banyak hal-hal hebat yang digoreskan oleh anak bangsa kebanggaan Ibu Pertiwi. Tentu, pencapaian paling impresif adalah ketika kita masih mampu berdaulat dan tidak terpecah-belah, walaupun terbentang beragam suku, ras, dan agama sepanjang kepulauan Nusantara. Bagaimanapun, memproklamasikan kemerdekaan di depan mikrofon jauh lebih mudah ketimbang mempertahankan apa yang diproklamasikan.

Mari kembali mengingat dua mukjizat yang dihadirkan Tuhan kepada bangsa Indonesia. Pertama, momen proklamasi 17 Agustus 1945 sebagai tonggak terpenting sejarah Republik Indonesia. Entah apa yang terjadi, Jepang yang digadang-gadang akan memenangkan Perang Dunia ke-2 dengan modal menduduki Asia Pasifik, tetiba takluk oleh sekutu. Momen ini, yang dalam pelajaran sejarah sering disebut sebagai vacuum of power, bak durian runtuh bagi bangsa kita. Ketidaksiapan sekutu untuk mengambil alih kekuasaan dari Jepang membuat keputusan mengumumkan kemerdekaan RI adalah hal yang super-cemerlang. Walaupun isinya hanya dua kalimat, mengumumkan kemerdekaan RI dan mengungkapkan pengakuan belum siap mengatur semua perkara mahabesar yang bertalian dengan kemerdekaan. Setidaknya, momen proklamasi telah menjadi pertanda bahwa bangsa kita lepas dari kolonialisasi.

Mukjizat yang kedua adalah peristiwa 27 Desember 1949. Bisa dibilang, peristiwa tahun 1949 adalah puncak kerja maraton diplomasi RI selama lebih dari tiga tahun. Sejarah mencatatnya dengan Konferensi Meja Bundar (KMB) yang disponsori oleh Persatuan Bangsa Bangsa (PBB). Menariknya, proses perundingan tersebut turut diawasi dunia yang menghasilkan akta persetujuan dengan panjang lebih dari 100 halaman. Walaupun tidak sepenuhnya menguntungkan bangsa Indonesia, hasil KMB turut meredakan gempuran dari pihak Belanda yang mengusik kedaulatan Republik Indonesia di awal-awal masa kemerdekaan.

Setidaknya ada tiga hal yang dapat diambil pelajaran dari peristiwa 1949. Pertama, pentingnya memahami perbedaan antara bangsa dan negara. Kemerdekaan sebuah bangsa tidak serta-merta diikuti oleh kedaulatan resmi negara tersebut. Kedaulatan tersebut tumbuh lantaran pengakuan dari negara-negara yang telah merdeka dan berdaulat. Sejumlah negara bersahabat sudah mengakui kedaulatan RI sejak Maret 1946. Namun, hal tersebut belum cukup untuk melindungi kedaulatan RI.

Apalagi kala itu, kita masih terbentur paradigma yang dianut PBB. Bahwa wilayah jajahan Eropa dianggap masih menjadi tanggungjawab bekas penguasa kolonial masing-masing (Belanda, Inggris, Prancis). Sebelum KMB digelar, Belanda masih bersikukuh bahwa gempuran agresi militer Belanda yang diperhalus dengan sebutan konflik bersenjata (1945-1949) merupakan masalah dalam negeri yang tidak bisa diintervensi. Sehingga, pengakuan kedaulatan dari PBB sangat dibutuhkan saat itu, guna menganulir tindakan semena-mena Belanda.

Hal ini mengantarkan kita ke pelajaran kedua, yakni pentingnya perjuangan diplomasi. Bagi RI yang baru lahir, perjuangan diplomasi politik di dunia internasional bukanlah perkara yang mudah. Sementara Belanda telah menjadi anggota PBB dan memiliki hak suara. Jangan tanya status Indonesia, jangankan menjadi anggota PBB, sebagai pengamat pun tidak dimiliki RI. Dan pelajaran yang ketiga adalah pentingnya dukungan dunia, khususnya Dewan Keamanan (DK) PBB bagi RI yang masih belia. Gempuran agresi militer Belanda turut memberikan berkah sebelum momen KMB.

Republik Indonesia kebanjiran simpati dunia. Australia, anggota DK PBB sekaligus pendukung kedaulatan RI, mendesak DK PBB segera menuntaskan konflik Indonesia-Belanda. Bak bola salju, dukungan pun terus menggelinding dan membesar hingga menguntungkan posisi Indonesia. Momentum tersebut turut mendorong para diplomat Indonesia, setapak demi setapak, untuk melangkah maju ke forum dunia hingga mendapatkan hak bersuara. Ini adalah peristiwa yang bersejarah. Sebelumnya tidak ada pihak non-anggota PBB yang diundang ikut bersuara dalam forum mereka. Sehingga, momen KMB tidak hanya penting untuk Republik Indonesia, melainkan juga bagi sejarah dunia. Indonesia menjadi inspirasi sejumlah negara bekas terjajah lainnya untuk memenangi proses dekolonisasi melalui forum resmi PBB.

Sungguh, momen mempertahankan kedaulatan Republik Indonesia melalui KMB patut untuk dijadikan refleksi di setiap kemerdekaan RI. Bagaimanapun, merdeka tanpa berdaulat tidak akan membawa sebuah bangsa menulis sejarahnya, lantaran tidak adanya kedaulatan negara. Pada akhirnya, di lembaran kemerdekaan ke-77 ini, mari senantiasa merayakan kedaulatan Republik Indonesia melalui kerja-kerja nyata. Merdeka!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun