Mohon tunggu...
Moh Wahyu Syafiul Mubarok
Moh Wahyu Syafiul Mubarok Mohon Tunggu... Penulis - Part time writer, full time dreamer

No Sacrifices No Victories

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Ketika Perubahan Iklim Menggerus PDB

25 Agustus 2022   22:19 Diperbarui: 25 Agustus 2022   22:24 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi dari The New Indian Express

Perubahan iklim adalah pemicu krisis multi-dimensi. Naiknya suhu permukaan bumi akibat timbunan emisi karbon berlebih di atmosfer, memaksa manusia untuk beradaptasi. Ini bukan lagi perkara siapa yang paling kuat untuk bertahan. Ini menyoal bumi yang tak lagi layak untuk ditinggali. Dua tahun ke belakang, kita tak henti-hentinya disuguhi berbagai macam laporan yang mengkhawatirkan terkait ketahanan lingkungan kita. Ada alasan yang masuk akal mengapa konsep pembangunan berkelanjutan menaruh ekosistem biosfer di tingkatan paling dasar. Sekali daya topang ekologi kita remuk, maka aspek sosial hingga ekonomi kita turut runtuh bak efek domino yang memancing kiamat iklim.

Dalam tulisan ini, saya mencoba mengulik satu fakta terkait seberapa parah perubahan iklim mempengaruhi masa depan umat manusia. Saya menemukan sebuah laporan yang dirilis oleh Kelompok V20, sebuah forum menteri keuangan dari 55 negara berkembang yang klaimnya rentan terhadap dampak perubahan iklim. Kolombia, Ghana, Afghanistan, Kenya, Sri Lanka, Nepal, Filipina, sampai Timor Leste menjadi anggota kelompok tersebut. Menariknya, saya tidak menemukan Indonesia dalam daftar keanggotaan. Semoga ini menjadi pertanda yang baik, betapa negara kita memiliki ketahanan yang mumpuni dalam sektor perubahan iklim.

Rilis data dari Kelompok V20 tersebut mengungkapkan bahwa perubahan iklim telah melenyapkan seperlima dari kekayaan negara-negara berkembang (sekitar 525 miliar dolar AS) selama kurun dua dekade ke belakang. Mayoritas diakibatkan oleh bencana hidrometeorologi yang memporak-porandakan negara rentan dengan frekuensi kejadian yang lebih tinggi dari sebelumnya. Dari data tersebut, turut ditarik garis pengandaian. Jika perubahan iklim mampu dikendalikan atau bahkan sama sekali tidak terjadi, tanpa memasukkan faktor lain, maka kekayaan negara V20 diproyeksikan bisa tumbuh hingga 20 persen.

Apabila dilihat dari sudut pandang ekonomi, dampak perubahan iklim bagi negara anggota V20 telah menggerus pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) rata-rata satu persen per tahun. Fakta memprihatinkan tersebut terjadi lantaran sebagian besar negara V20 telah sampai pada titik kritis kenaikan suhu bumi. Mayoritas daya tahan yang bisa mereka emban ada pada kenaikan maksimal 1,1 derajat Celsius pasca revolusi industri. Maknanya, jika laju pemanasan terus berlanjut, maka sudah dipastikan runtuhnya pilar-pilar ekonomi yang berdampak pada kesejahteraan masyarakat tidak bisa dihindarkan.

Satu solusi yang masuk akal lagi memungkinkan adalah munculnya aliran pendanaan (baik mitigasi maupun adaptasi) dari negara maju ke negara berkembang. Sejatinya, hal ini telah diatur dalam skema pendanaan yang tertuang dalam artikel 9 pada Perjanjian Paris 2015. Namun, negara-negara bersangkutan masih tarik-ulur dalam implementasi bantuan 100 milar dollar per tahun bagi negara rentan krisis iklim. Hal tersebut masih menjadi isu yang terus menggelinding dari satu meja COP ke meja pertemuan tingkat tinggi lainnya. Mengenai skema pembiayaan tersebut, saya lebih suka menyebutnya sebagai 100 billion-dollar climate debt, dari pada climate support.

Opsi lain yang mungkin bisa dipertimbangkan oleh pemangku kepentingan adalah dengan melakukan mobilisasi dana dari komunitas filantropi. Tentu, hal ini membutuhkan kerja sama kolektif serta kesadaran atas nama kemanusiaan. Betapa masih banyak negara rentan yang berjuang untuk terus bertahan di tengah gempuran krisis iklim, yang diakibatkan oleh emisi berlebih dari negara-negara maju.

Memang, ongkos untuk melakukan mitigasi hingga adaptasi perubahan iklim diproyeksikan cukup menguras kantong. Agaknya berbanding lurus dengan kerugian yang akan kita terima, bila tidak ada aksi yang berarti. Studi yang dilakukan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) menyebutkan betapa Indonesia terancam mengalami kerugian hingga 544 triliun rupiah (melebihi ongkos pembangunan IKN yang diproyeksikan 466 triliun rupiah) dalam rentang 2020 sampai 2024. Dan tentu, ketika kita menunda dan masih terjebak dengan model penanganan yang sama, maka biaya untuk adaptasi perubahan iklim di masa depan akan jauh lebih mahal dari pada sekarang, yang turut diikuti dengan kerugian yang terus menggunung. Sehingga, menjadi jelas mengapa slogan "Act Now!" yang sering digaungkan oleh para aktivis iklim akan senantiasa relevan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun